KOMPAS.TV – Pihak keluarga Juwita, jurnalis media online yang diduga dibunuh anggota TNI AL asal Banjarbaru, Kalimantan Selatan, menolak uang duka dari keluarga tersangka Kelasi Satu Jumran.
Mengutip pemberitaan Tribunnews.com, Selasa (8/4/2025), ibu dari tersangka Jumran memberikan tali asih berupa uang sebesar Rp 1 juta.
Dengan adanya tambahan uang duka tersebut, total jumlah uang sumbangan yang diberikan pihak J atas meninggalnya Juwita sebanyak Rp2 juta.
Baca Juga: Dandenpomal Ungkap Bagaimana Anggota TNI AL Jumran Bunuh Juwita, Lakukan Aksi Dalam Mobil
Kuasa hukum keluarga Juwita, Mbareb Slamet Pambudi, Senin (7/4/2025) mengatakan, pihak keluarga Juwita menolak sumbangan tersebut. Nantinya uang itu akan dikembalikan melalui penyidik.
“Setelah korban ditemukan meninggal, tersangka memberikan uang belasungkawa. Uang itu dikirim oleh tersangka dan ibunya,” kata Slamet.
Menurut Slamet, uang duka tersebut dikirim pada keluarga Juwita pada 23 Maret 2025, atau sehari setelah korban dinyatakan meninggal dunia.
“Informasinya, tersangka lebih dulu mentransfer ke rekening kakak korban, kemudian disusul oleh ibunya," ucapnya.
"Uang itu kami nilai sebagai bentuk belasungkawa, walaupun bisa saja dijadikan alibi oleh tersangka,” ujarnya.
Kuasa hukum lain dari pihak keluarga Juwita, Muhammad Pazri, menyebut Kelasi Satu Jumran merencanakan pembunuhan sebulan yang lalu.
“Dari diskusi kami dengan penyidik, ternyata satu bulan sebelum kejadian itu, bahkan bisa lebih."
"Sudah direncanakan oleh tersangka untuk melakukan pembunuhan,” ujar Pazri saat ditemui usai mendampingi pemeriksaan saksi di Denpom Lanal Banjarmasin.
Ia juga berpendapat tersangka J melakukan dugaan pembunuhan itu secara sadar, terencana, dan rapi.
Baca Juga: Motif Oknum TNI AL Jumran Membunuh Juwita, Diduga Tak Mau Tanggung Jawab Nikahi Korban
Hal itu, menurut Pazri, terlihat dari beberapa adegan yang dilakukan oleh tersangka saat pelaksanaan rekonstruksi atau reka ulang.
Dalam reka ulang tu, tesangka menggunakan sarung tangan, membeli air untuk menghilangkan sidik jari, hingga penempatan jenazah korban agar seolah-olah mengalami kecelakaan.
“Ini jelas bukan pembunuhan spontan. Ancaman hukumannya adalah hukuman mati. Bahkan menurut kami, perlu diperberat,” ucapnya.
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Tribunnews.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.