JAKARTA, KOMPAS.TV- Di tengah kehidupan Jakarta yang hiruk pikuk, jauh di pesisir utara dan pinggiran ibu kota, Lembaga Daya Dharma (LDD) Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) memperjuangkan masa depan anak-anak dari keluarga prasejahtera melalui Program Pelayanan Anak.
Tidak dengan konsep "memberi" seperti sedekah searah, melainkan dalam semangat subsidiaritas, membangkitkan kekuatan dari dalam komunitas sendiri.
Warga Jakarta diundang untuk hadir di Museum Nasional Jakarta pada Sabtu, 3 Mei 2025 mendatang untuk menyaksikan peluncuran Gerakan Belarasa. Rangkaian acara hari itu akan menjadi panggung utama bagi mereka yang selama ini dianggap “tidak punya suara”, seperti warga prasejahtera, anak-anak dari keluarga marjinal, dan komunitas pesisir utara Jakarta.
Baca Juga: Paus Fransiskus Dimakamkan di Basilika Santa Maria Maggiore Bukan di Vatikan, Ternyata Ini Alasannya
Ya, para pengunjung Gerakan Belarasa akan menyaksikan sendiri dan menentukan bagaimana akan terlibat dalam upaya Belarasa yang terinspirasi dari kunjungan Paus Fransiskus ke Jakarta pada tahun lalu yang menjadikan Belarasa sebagai salah satu tema kunjungan.
Dita Anggraini, staf Pelayanan Anak dari Lembaga Daya Dharma Keuskupan Agung Jakarta (LDD KAJ), menjelaskan bahwa layanan anak yang mereka lakukan saat ini mencakup 12 wilayah, khususnya di daerah pesisir Jakarta Utara dengan mayoritas adalah keluarga buruh pengupas kerang, nelayan, hingga pemulung ikan asin. Mereka menjadi bagian utama dari pengelolaan 8 PAUD dan 6 Kelompok Belajar Anak (KBA).
“LDD KAJ bekerjasama dengan mereka, bukan memberi. Kebanyakan pendamping di sana ibu rumah tangga lulusan SD atau SMP. Tapi setelah kami latih, mereka jadi guru-guru yang tangguh. Bahkan ada yang kemudian termotivasi ikut sekolah paket hingga kuliah,” ungkap Dita dalam siaran pers Kamis (24/4/2025).
Filosofi utama program ini adalah melibatkan warga lokal secara aktif. Mereka bukan penerima pasif, tetapi penggerak.
"Kami tidak pernah mengklaim bahwa PAUD itu milik LDD. Kami selalu katakan: ini milik masyarakat. Maka masyarakat juga mengelola bersama," kata Dita. Inilah makna nyata dari subsidiaritas: keyakinan bahwa siapa pun, semiskin apa pun, memiliki kekuatan untuk berkontribusi," ucapnya.
Ragam Persoalan
Gerakan Belarasa menemui beragam persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Cerita tentang bayi prematur dari Morang, sebuah desa di Jawa Timur, misalnya, menggambarkan semangat itu. Anak itu lahir dari pasangan remaja. Ayah dan ibunya masih berusia 16 tahun. Ia sempat divonis berisiko lumpuh dan buta.
"Tapi berkat kegigihan guru PAUD lokal, Bu Santi, dan solidaritas relawan di wilayah itu, anak tersebut akhirnya selamat. Jam 2 malam mereka cari ambulans, cari rumah sakit, semua gotong royong. Bu Santi sampai tidur di rumah sakit,” kata Dita.
Ketika terjadi kebakaran besar di Rawa Elok, Jakarta Timur, dua hari sebelum Lebaran, para guru PAUD dari wilayah lain membuka dapur umum. Mereka memilih lebaran bersama para korban daripada pulang ke keluarganya. “Solidaritas mereka luar biasa. Kami hanya jadi jembatan,” ujar Dita.
Baca Juga: Kardinal Suharyo Ikut Konklaf Pemilihan Paus Baru di Vatikan? Ini Jawabannya
Masalah yang dihadapi anak-anak ini bukan hanya pendidikan dan gizi. Banyak dari mereka yang tidak punya akta lahir, KTP, atau KK, sehingga sulit melanjutkan sekolah formal. LDD juga mendampingi pengurusan dokumen legalitas, sambil perlahan membangun koperasi kecil dan kelompok menabung untuk ekonomi rumah tangga.
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.