Cover buku "Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong" (Sumber: Kompas.TV/Iman Firdaus)
JAKARTA, KOMPAS.TV - Istilah priayi saat ini sudah sangat jarang digunakan. Namun di era pemerintahan kolonial Belanda, istilah ini lazim digunakan sebagai kelompok elite yang sangat dekat dengan kekuasaan.
Sejarawan Ong Hok Ham dalam bukunya, "Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong" (penerbit Kompas, 2019) menuliskan bahwa priayi adalah kelompok kecil yang diberi jabatan atau mandat dari raja untuk membantu memerintah rakyat. "Kelompok kecil ini diangkat karena jasa mereka pada raja dalam perebutan kekuasaan," kata Ong. Karena itu, seorang priayi pastilah punya jabatan di pemerintahan.
Salah satu hak istimewa priayi adalah "plungguh" yaitu nafkah dari raja yang tidak bisa diwariskan. Bila pejabat atau priayi itu meninggal, maka plungguh akan diambil lagi oleh raja. "Seorang priayi tanpa harus bekerja dapat menikmati hasil bumi yang dikerjakan oleh petani, wong cilik," tulis Ong.
Saat Belanda melakukan tanam paksa, priayi sangat dibutuhkan terutama untuk menggenjot hasil agraria ekspor seperti gula, kopi dan teh. Gubernur Jenderal Van den Bosch (1830-1832) yang menciptakan sistem tanam paksa, tahu betul bekerjasama dan memanfaatkan para priayi untuk menundukkan rakyat yang suka berontak. Lagi pula betapa mahalnya bila perkebunan di tanah air dikerjakan tenaga diimpor dari Belanda.
Baca Juga: Daftar Pejabat yang Dilantik Menkomdigi Hari Ini, Ada Aktris Raline Shah dan Jurnalis Fifi Aleyda
Nah, untuk memuluskan jalan itu, priayi dijadikan tameng. Bukan hanya diberi upah tapi juga jabatan politik. "Kedudukan elite priayi diperkuat secara politis dan dinyatakan turun temurun," begitu penjelasan Ong, sejawaran dari Universitas Indonesia (UI) yang meninggal pada 2007 di Jakarta.
Karena keistimewaan itu, para priayi memiliki dan mengembangkan gaya hidup yang berbeda dari rakyat kebanyakan. Para priayi tidak melakukan kerja kasar yang berkeringat karena harta mereka didapat dari pemberian raja.
Baca Juga: Mardani Ali Sera soal Dokumen Dugaan Skandal Pejabat Negara Milik Hasto: Dibuka Aja Kalau Ada
Karena itu, mereka pun punya relasi yang baik dengan para pedagang. Bahkan mereka menggantungkan urusan ekonomi pada para pedagang untuk membiayai aktivitas mereka. Maka tidak heran, para priayi itu mendapatkan kekayaan bukan karena keringat sendiri, tapi karena kedekatan dengan golongan-golongan lain di dalam masyarakat. Ada pandangan kala itu, kalau priyai sampai punya usaha seperti berdagang misalnya, mereka merasa martabatnya turun. Di Jawa keluarga priayi yang punya usaha, kata Ong, disebut "ndoro bakulan".
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.