JAKARTA, KOMPAS.TV - Eddy Sampak, prajurit TNI yang bertugas di Komando Distrik Militer (Kodim) 0806 Cianjur, Jawa Barat, dengan sadis membunuh empat rekan kerjanya dan merampok uang gaji para prajurit sebesar Rp21,3 juta.
Peristiwa ini sudah lama berlalu. Tepatnya pada 20 Agustus 1979, di sebuah perkebunan teh yang sepi daerah Gekbrong, Cianjur. Eddy menghabisi empat rekannya, yaitu Sersan Sutardjat, Daeng Rusyana, Djudjun, dan Sugandi. Mereka diberondong tanpa ampun di dalam mobil Colt sewaan dari Sukabumi.
Motif pembunuhan dan perampokan yakni karena dendam kalah dalam pemilihan kepala desa sekaligus terbelit utang sebagai modal dalam pesta demokrasi kelas kampung itu. Eddy sudah menghabiskan uang Rp3 juta hasil jual sawah dan meminjam uang pada rentenir.
Baca Juga: Satu dari Tujuh Tahanan Rutan Salemba yang Kabur adalah Gembong Narkoba, Polisi Lakukan Pengejaran
Kejadian menggemparkan itu membuat TNI dan polisi bahu-membahu mengejar Eddy. Perburuan besar-besaran dilakukan menyisir wilayah kampung dan hutan.
Perburuan tersebut membawa hasil. Sepekan kemudian, 28 Agustus 1979, Eddy ditangkap di Desa Cigintung, Sumedang. Eddy ditangkap oleh tim pasukan Batalion 327/Braja Wijaya di bawah pimpinan Sersan Mayor Sain.
Dari tangan Eddy, tim ini berhasil menyita uang Rp3,75 juta. Sementara kaki dan pantatnya luka memborok akibat baku tembak dengan petugas keamanan beberapa hari sebelumnya.
Eddy pun diadili di Pengadilan Militer Priangan-Bogor pada 1981. Hasilnya, Eddy divonis hukuman mati, yang dikuatkan keputusan Mahkamah Agung. Eddy mengajukan grasi kepada Presiden Soeharto, tapi ditolak.
Tak mau membusuk di penjara, pada 24 Desember 1984, ia nekat melarikan diri dari Rumah Tahanan Militer Inrehab Cimahi, Jawa Barat. Setelah berhasil kabur, kabar dan keberadaan Eddy pun lenyap bak ditelan bumi hingga bertahun-tahun lamanya.
Hingga pada suatu ketika, polisi menemukan Tabloid Alternatif dan koran Surya Pos Banten. Pada masthead dua media massa itu, nama Eddy muncul tercantum sebagai penasihat dan pembina. Memang, namanya sudah ditambah menjadi Maulana Eddy Sampak. Tapi, kecerobohan itulah yang membuat aparat mencokoknya di rumahnya di Serang, Banten, pada Februari 2006 silam.
Eddy yang kala itu sudah berusia 67 tahun dan sakit-sakitan, tak memberikan perlawanan. Semula, dia mengira diculik. Namun ketika tahu dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan Militer (Lesmasmil) II Cimahi di Jalan Poncol, Baros, Cimahi Tengah, Kota Cimahi, dia baru sadar atas kesalahannya. Kedoknya terbuka.
Baca Juga: Sidak Rutan Salemba Usai 7 Tahanan Kabur, Komisi XIII DPR Temukan CCTV yang Tak Aktif
Ketika ditangkap, Eddy dikenal oleh penduduk setempat sebagai tokoh masyarakat dan tokoh agama dengan sebutan Abah Eddy. Warga tak ada yang curiga bahwa sosok relijius itu buronan kasus pembunuhan dan perampokan. Tentu saja karena pembawaan dan sikapnya yang santun.
Bahkan, Eddy sempat bolak-balik ke kantor polisi, bukan urusan kriminal, tapi mengurus surat-surat. Dia juga memiliki kartu tanda penduduk tanpa ada yang curiga.
Namun, sepandai-pandai Eddy menyembunyikan penyamaran, akhirnya terungkap juga. Dia akhirnya mendekam di Nusakambangan, Jawa Tengah dalam usia yang sudah renta, 82 tahun.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.