JAKARTA, KOMPAS.TV - Bagaimana nilai-nilai etika, moral bekerja di ruang-ruang kekuasaan, dan bagaimana dampaknya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara?
Pertanyaan mendasar ini menyeruak dalam sebuah rountable discussion yang diselenggarakan oleh MAARIF Institute beberapa waktu lalu di kantornya, di Tebet, Jakarta Selatan.
MAARIF Institute menggelar diskusi terbatas dalam program MAARIF House kali ini bertajuk "Agama, Kebudayaan, dan Moralitas Publik" yang menjadi dasar tatanan kehidupan manusia.
Baca Juga: Maarif Institute Tegaskan Penolakan terhadap Pembegalan Pancasila dan Demokrasi
Menjawab persoalan tersebut, salah satu narasumber, Syamsul Arifin, Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Muhammadiyah Malang menyampaikan pandangan mendalam, terutama terkait dengan isu moralitas dan kepemimpinan di Indonesia.
Syamsul menjelaskan, etika memiliki posisi yang lebih tinggi daripada hukum. Ia memberikan contoh bagaimana BJ Habibie yang memutuskan untuk tidak mencalonkan diri sebagai presiden pada saat itu meskipun secara hukum dia dibolehkan.
"Indonesia sangat kaya dengan etika dan nilai-nilai luhur. Sebagai bangsa, kita harus mempertahankan warisan ini dan mengingat bahwa etika merupakan refleksi dari apa yang baik dan buruk," ungkap Syamsul.
Narasumber lain, M. Izzul Muslimin, Sekretaris PP Muhammadiyah, dalam paparannya mengajak masyarakat untuk tidak terjebak dalam romantisme moralitas, yakni pemimpin dipilih berdasarkan karisma atau popularitas semata tanpa mempertimbangkan integritas dan kemurnian moralnya.
"Kita membutuhkan pemimpin yang mampu mengambil keputusan berdasarkan nilai-nilai yang kuat dan berjangka panjang, bukan pemimpin yang hanya mengandalkan pencitraan," ujarnya.
Pernyataan ini mencerminkan keprihatinan mendalam Izzul terhadap kondisi bangsa dan menunjukkan perlunya perbaikan signifikan dalam moralitas publik, terutama di sektor kepemimpinan.
Sementara itu, Riri Khariroh, aktivis perempuan dan eco-feminism, menyoroti ketidakadilan gender yang terus berlangsung di masyarakat Indonesia.
Menurut Riri, tiga sektor utama yang dibahas dalam diskusi – agama, kebudayaan, dan moralitas publik – masih belum memberikan perhatian yang cukup terhadap isu kesetaraan gender.
"Budaya patriarki masih sangat kuat di Indonesia, terutama di wilayah-wilayah Indonesia Timur. Dalam konteks moralitas publik, perempuan seringkali menjadi objek yang dikendalikan, alih-alih dilindungi," ungkap Riri.
MAARIF House edisi keempat kali ini dihadiri oleh berbagai narasumber, di antaranya; Ahmad Fuad Fanani (Peneliti, Kandidat Doktor ANU Canberra), Budi Asyhari-Afwan (Peneliti Budaya CRCS UGM), dan Dewi Candraningrum (Editor Buku Seri Ekofeminisme).
Selain itu, ada Feby Indirani (Novelis, Inisiator Relax, It's Just Religion), M. Izzul Muslimin (Sekretaris PP Muhammadiyah), Kusen (Budayawan), Media Zainul Bahri (Guru Besar Pemikir Islam UIN Jakarta), Riri Khariroh (Aktivis Perempuan dan Pendidik di PP Nihadlul Qulub), dan Syamsul Arifin (Guru Besar Sosiologi Agama UMM Indonesia).
"MAARIF House merupakan sarana yang kami ciptakan untuk mendorong diskusi terbuka dan konstruktif mengenai isu-isu publik yang penting bagi masyarakat. Melalui edisi keempat ini, kami berharap dapat memberikan wawasan baru dan mendorong pemikiran kritis mengenai hubungan antara agama, kebudayaan, dan moralitas publik," ujar Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Andar Nubowo.
Baca Juga: Haul Kedua Buya Syafii Maarif: Memaknai Pikiran dalam Bentuk Visual
Melalui diskusi yang mendalam dan interaktif, Andar menegaskan, MAARIF House edisi keempat kali ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai hubungan antara agama, kebudayaan, dan moralitas publik.
Acara tersebut bertujuan untuk mendorong dialog yang konstruktif dan mencari solusi bersama dalam menghadapi tantangan-tantangan yang muncul di tengah masyarakat.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.