JAKARTA, KOMPAS.TV- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai ada potensi pelanggaran dan kesesatan berpikir pada cara pandang Panitia Seleksi (Pansel) Komisioner dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam meloloskan tes profile assessment.
Hal tersebut disampaikan oleh Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas TV, Kamis (12/9/2024).
“Berdasarkan pengamatan ICW, dari total 20 orang kandidat calon Komisioner KPK, 45 persen atau sekitar 9 orang diantaranya berasal dari klaster penegak hukum, baik aktif maupun purna tugas,” ucap Kurnia.
“Dari situasi ini tentu timbul pertanyaan sebagai berikut, apakah Pansel sedari awal memang mengharapkan KPK diisi oleh para aparat penegak hukum? Bila itu benar, maka ada sejumlah potensi pelanggaran dan kesesatan berpikir pada cara pandang tersebut,” kata Kurnia.
Baca Juga: Nadiem Bungkam Ditanya soal Kritik JK Jarang ke Kantor dan Tidak Berpengalaman di Bidang Pendidikan
Pertama, kata Kurnia, Pansel jelas melanggar Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 terkait kesamaan setiap orang di mata hukum.
“Mestinya proses seleksi ini dapat mengikuti perintah UU KPK yang memberikan keleluasaan bagi setiap kalangan, sepanjang memenuhi syarat, untuk bisa mendapatkan kesempatan menjadi Komisioner atau Dewan Pengawas KPK,” ujar Kurnia.
Kedua, menurut Kurnia, dominasi aparat penegak hukum dalam hasil seleksi kali ini mengundang persepsi di tengah masyarakat terkait adanya dugaan intervensi pihak lain kepada Pansel.
“Adapun intervensi yang dimaksud dapat berasal dari pihak manapun, misalnya, kalangan eksekutif atau mungkin pimpinan aparat penegak hukum,” jelasnya.
Ketiga, cara pandang semacam itu menggambarkan bahwa Pansel pada dasarnya benar-benar tidak memahami seluk beluk kelembagaan KPK. Sebab, di dalam UU KPK tidak ditemukan satupun pasal yang mewajibkan kalangan aparat penegak hukum untuk mengisi struktur kepemimpinan KPK.
Baca Juga: Pramono soal Rencana Pertemuan Megawati dengan Prabowo: Yang Jelas Komunikasinya Berjalan Baik
“Selain itu, cara pandang tersebut justru membuka ruang terjadinya konflik kepentingan dan loyalitas ganda. Sederhananya, bagaimana memastikan independensi komisioner yang berasal dari penegak hukum jika kemudian hari KPK mengusut dugaan tindak pidana korupsi di instansi asalnya?,” ujar Kurnia.
“Hal lain juga, jaminan apa yang bisa diberikan Pansel bahwa calon dari klaster penegak hukum hanya akan tunduk pada perintah UU di tengah maraknya fenomena jiwa korsa di lembaga asalnya?,” tambahnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.