JAKARTA, KOMPAS.TV- Presiden Joko Widodo dinilai merusak netralitas penyelenggara negara dengan cara menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No 53 Tahun 2023 tentang aturan cuti menteri dan kepala daerah selama kampanye Pemilu 2024.
Hal tersebut disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti dalam dialog di Sapa Indonesia Pagi KOMPAS TV, Senin (27/11/2023).
“Ketentuan itu akan merusak netralitas dari penyelenggara negara,” ucap Bivitri.
Bivitri kemudian mengurai bagaimana peluang ketidaknetralan itu akan terjadi dari PP No 53 Tahun 2023 yang ditandatangani Presiden Jokowi sepekan sebelum waktu kampanye. Setidaknya, kata Bivitri, ketidaknetralan bisa terjadi dalam tiga hal.
“Pertama agenda seorang pejabat yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masa kampanye, kemudian yang kedua fasilitas dari pejabat negara tersebut, dan ketiga kebijakan yang mungkin saja bisa dikeluarkan untuk kepentingan calon yang didukung oleh pejabat negara tersebut atau dirinya sendiri,” jelas Bivitri.
Baca Juga: Mahfud soal Capres Cawapres Saling Sindir: Tidak Dilarang, Asalkan Punya Data
“Nah ini yang sebenarnya sangat berbahaya dan biasanya terjadi. Ini bukan dugaan, bukan sembarangan spekulasi, tapi memang ini yang sudah kerap terjadi dalam masa masa-masa kampanye dalam pemilu di Indonesia maupun di negara lain.”
Maka itu, Bivitri melihat dalam konteks hukum tata negara merasa patut berprasangka buruk terhadap PP No 53 Tahun 2023. Sebab menurutnya, PP No 53 Tahun 2023 sangat mudah sekali disalahgunakan dalam masa kampanye 2024.
“Jadi memang kita harus melihatnya, kalau dalam konteks hukum tata negara itu selalu kalau dalam tanda kutip kita harus suudzon begitu ya, berprasangka buruk, karena kalau dalam penyelenggara negara kita berbicara soal kekuasaan yang bisa dengan mudah disalahgunakan,” tegas Bivitri.
“Jadi pagarnya harusnya justru sangat jelas, sangat terang bahwa tiga hal tadi, agenda pejabat, fasilitas pejabat, dan kebijakan pejabat itu tidak bisa digunakan untuk kepentingan calon-calon yang ia dukung atau dirinya sendiri.”
Bagi Bivitri, eloknya menteri atau kepala daerah yang mengikuti Pemilu 2024 mundur dari jabatan sejak masuk daftar calon tetap untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan.
Baca Juga: KPU Berencana Gelar Debat Capres Cawapres Tidak Hanya di Jakarta
“Cukup besar (Peluang ketidaknetralan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2023), karena kan sebenarnya, bahkan untuk tahun ini sudah kelihatan, misalnya ada beberapa kejadian dimana seorang pejabat sebenarnya sedang melakukan agenda pemerintah yang resmi gitu ya, tapi kemudian selagi melakukan agenda tersebut dia sekalian bilang pilih si A, si B, si C atau pilih saya sendiri begitu,” ujar Bivitri.
“Atau juga misalnya ada bantuan-bantuan sosial juga sudah jadi suatu modus ya, bantuan bantuan yang diberikan kepada masyarakat itu cenderung akan diberikan pada hari-hari menjelang atau selama masa kampanye ini.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.