JAKARTA, KOMPAS.TV - Puncak dari perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah adalah pembacaan teks Proklamasi 17 Agustus 1945. Pembacaan teks oleh Seokarno didampingi Hatta ini menjadi penanda hari kemerdekaan. Namun, pembacaan teks dan lahirnya Indonesia bukanlah tidak ada perayaan atau pesta. Semua berjalan normal seolah tak terjadi apa-apa.
Sang Proklamator Hatta yang hari ini 12 Agustus tepat 121 tahun, membeberkannya. Rapat persiapan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan dilaksanakan di rumah Laksamana Maeda, di Jakarta, pada malam tanggal 16 Agustus 1945 bertepatan dengan bulan puasa.
Rapat di rumah perwakilan Jepang di Indonesia itu, dihadiri sejumlah tokoh seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sayuti Melik, para pemuda, dan para anggota Cuo San In (semacam dewan perwakilan) yang ada di Jakarta.
Baca Juga: Jelang Proklamasi Kemerdekaan: Bom Atom Dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, Bung Hatta Terperanjat
Usai menyusun konsep yang akan dibacakan, Soekarno membuka rapat dan membacakan rapat pernyataan kemerdekaan yang sudah disusun, perlahan-lahan dan berulang-ulang.
Dalam buku "Menuju Gerbang Kemerdekaan" karya Mohammad hatta, dituliskan bahwa sesudah naskah dibacakan dihadapan peserta rapat, Soekarno pun bertanya kepada yang hadir, "Dapatkan saudara-saudara ini setuju?" Gemuruh suara mengatakan setuju. Soekarno harus mengulang pertanyaannya, dan dijawab oleh peserta yang hadir serempak "setuju!"
Setelah itu, Soekarno pun menyatakan bahwa teks proklamasi akan dibacakan pada esok pagi, Jumat, 17 Agustus 1945 jam 10.00. Teks akan dibacakan di muka rakyat di halaman rumahnya di Pegangsaan Timur 56.
Maka sidang bersejarah itu berakhir Pukul 03.00 dini hari. Laksamana Maeda dan para pembantunya memberikan selamat kepada peserta rapat. Sebelum pulang, Hatta masih sempat makan sahur di rumah Laksamana Maeda. Menunya telur, roti dan ikan sardin karena tidak ada nasi. "Tetapi cukup mengenyangkan," kata Hatta.
Setelah mandi dan bercukur, bergegas ke Pegangsaan 56 untuk ikut dalam hari bersejarah itu. Hatta tiba 10 menit sebelum Pukul 10.00, karena dia adalah sosok yang selalu tepat waktu.
Dan tepat Pukul 10.00 seperti yang dijanjikan, kemerdekaan Indonesia pun diproklamasikan. Lalu bendera merah putih dikibarkan dan lagu kebangsaan "Indonesia Raya" dinyanyikan.
"Kami duduk sebentar kira-kira setengah jam. Setelah itu aku pulang ke rumah. Di rumah sudah menunggu sanak saudaraku yang berpencar tinggalnya di Jakarta. Semuanya terharu dan memberi selamat Indonesia merdeka," kata Hatta.
Pada tahun itu pula, tepatnya 18 November 1945, Hatta mengakhiri masa lajanganya mempersunting Rahmi di Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Pertemuan Rahmi dan Bung Hatta diawali dengan perkenalan keduanya yang diinisiasi oleh Presiden Soekarno.
Saat itu Bung Hatta berusia 43 tahun sedangkan Rahmi 19 tahun. Pernikahan dilangsungkan dengan sederhana. Ada yang menyebut hanya dihadiri tidak lebih dari 30 orang saja. Apalagi pernikahan ini merupakan semacam janji Hatta, bahwa dia akan menikah setelah Indonesia merdeka.
Sebagaimana dikutip dari pemberitaan harian KOMPAS pada 14 April 1999, Rahmi turut mengalami jatuh bangun dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tak hanya itu, mendampingi Bung Hatta juga berarti harus mengikuti gaya hidup asketis sang proklamator.
"Saya kira tidak hanya saya yang mengalami hal demikian. Ibu-ibu lain yang hidup pada masa itu juga memaklumi bahwa kepentingan negara dan bangsa itu lebih penting daripada keluarga," tutur Rahmi menggambarkan perjalanan hidupnya ketika mendampingi Bung Hatta.
Rahmi juga turut merasakan penderitaan saat Bung Hatta diasingkan ke oleh Belanda di masa revolusi fisik kala mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia harus hidup terpisah dengan Bung Hatta saat diasingkan ke Prapat dan Bangka pada Desember 1948 hingga Juli 1949.
Baca Juga: Perbedaan Isi Teks Proklamasi Asli Tulisan Tangan Soekarno dan yang Diketik Sayuti Melik
Rahmi dan putrinya menanti Bung Hatta dengan hidup sendirian di Yogyakarta. Selama enam bulan Ibu Rahmi dan para pemimpin republik yang ditawan hidup dalam ketidakpastian tentang nasib suami mereka. Di sisi lain mereka juga harus menghadapi kenyataan lain berupa kehidupan ekonomi yang semakin sulit. Rahmi meninggal pada 13 April 1999 dalam usia 73 tahun.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.