JAKARTA, KOMPAS.TV- Suami saya ketahuan selingkuh oleh saya dan saya emosi lalu memukuli suami saya. Perbuatan itu di lihat oleh mertua saya dan selingkuhannya. Bagaimana pandangan hukum nya, karena saya takut kalau suami atau mertua menggugat balik saya dalam kasus perceraian saya nanti? Itulah pertanyaan yang diajukan oleh Muhayyani dari Jakarta, dalam rubrik konsultasi hukum di situs Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di bawah Kementerian Hukum dan HAM.
Safril Nurhalimi, S.H., M.H. (Penyuluh Hukum Ahli Madya) memberikan jawaban: Hukum perkawinan di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun adanya godaan dari pihak ketiga yang menyebabkan perselingkuhan, baik dari pihak suami atau istri.
Dampaknya mengakibatkan keretakan hubungan rumah tangga hingga perceraian. Kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dilakukan terhadap seseorang terutama perempuan yang bisa mengakibatkan munculnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis, seksual dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, perampasan atau pemaksaan kemerdekaan secara melawan hukum dalam ruang lingkup rumah tangga. (Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Baca Juga: Ayah Lesti Kejora Pilih Antar Anak ke Pesantren, Tak Muncul saat Kasus KDRT Rizky Billar Berakhir
Pasal 15 ayat (1) huruf a UU TPKS menegaskan apabila tindak pidana kekerasan seksual tersebut dilakukan dalam lingkup keluarga maka pidananya ditambah 1/3 (satu per tiga). KDRT tidak hanya sekedar tindakan yang terjadi secara fisik saja, namun juga ada beberapa jenisnya salah satunya Bentuk Kekerasan Fisik Bentuk kekerasan yang terjadi dari suami kepada istri atau sebaliknya dan yang lebih sering terjadi adalah kekerasan terbuka atau overt.
Jenis KDRT ini akan melibatkan secara fisik yang bisa dilihat seperti menendang, mendorong, memukul, menjambak, berkelahi, melemparkan benda dan beberapa hal lainnya. Pasal 6 UU KDRT menjelaskan arti kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Misalnya menendang, mendorong, memukul, menjambak, berkelahi, melemparkan benda dan lainnya.
Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN 2016), setidaknya ada 4 faktor penyebab mengapa terjadi kekerasan dalam rumah tangga, sebagai berikut: 1. Faktor ekonomi; Aspek ekonomi sendiri menjadi faktor yang cukup dominan menjadi faktor kekerasan pada perempuan dibandingkan dengan faktor pendidikan. 2. Faktor individu; seringnya pertengkaran dengan suami juga menjadi resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya KDRT. 3. Faktor pasangan Faktor dari pasangan pribadi juga bisa menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga seperti: memiliki WIL / kasus perselingkuhan 4. Faktor sosial budaya; Perempuan yang tinggal di perkotaan akan memiliki 1,2 kali resiko lebih besar untuk terkena KDRT oleh pasangan dibandingkan mereka yang tinggal di pedesaan.
Hukuman untuk pelaku KDRT terdapat sanksi yang diatur dalam Pasal 44 sampai Pasal 49 UU KDRT, bergantung dari jenis kekerasan dalam rumah tangga serta siapa yang melakukan kekerasan tersebut salah satunya Kekerasan Fisik Sanksi dalam Pasal 44 ayat (1) UU KDRT menjelaskan setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga akan dipidana dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal Rp15 juta. Kemudian jika korban mengalami luka berat atau jatuh sakit, pelaku bisa dipidana penjara maksimal 10 tahun atau denda maksimal Rp30 juta. Akan tetapi, korban yang meninggal karena kekerasan tersebut, bisa dipidana penjara maksimal 15 tahun atau denda maksimal Rp45 juta.
Baca Juga: Polisi Resmi Hentikan Kasus KDRT Rizky Billar Terhadap Lesti Kejora!
Selanjutnya, jika kekerasan fisik dilakukan oleh suami pada istri atau sebaliknya, dan tidak menyebabkan penyakit atau halangan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari, akan dipidana penjara maksimal empat bulan atau denda paling banyak Rp5 juta.
Terkait dengan pasal perzinaan, Dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP, proses penuntutan atau pelaporan tindak pidana gendak (overspel) hanya dapat dilakukan atas pengaduan suami atau istri. Pasalnya, tindak pidana tersebut termasuk dalam delik aduan (klacht delict). Pasal 284 KUHP ini merupakan suatu delik aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan dan atau yang dimalukan. Selain itu, laporan pidana gendak (overspel) tidak dapat diproses lebih lanjut oleh Kepolisian apabila yang melaporkan bukanlah pasangan resmi pihak yang dirugikan.
Jika suami atau istri yang terbukti melakukan perselingkuhan, salah satu yang dirugikan dapat melaporkan pasangannya tersebut melalui kepolisian. Laporan pasal 284 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana selama 9 bulan.
Pasal tersebut mengatur bahwa : (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: 1. a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya, 2. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya, 2. a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin; 3. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya. (2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga. (3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75. (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai. (5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, selingkuh berarti: a. suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong; b. suka menggelapkan uang; korup; c. suka menyeleweng. Jika perselingkuhan telah mengarah ke perbuatan zina, maka suami/istri dari pasangan yang melakukan zina dapat melaporkan istri/suaminya serta selingkuhannya ke polisi atas dasar perbuatan perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 KUHP.
Dirangkum dari laman Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM, Pasal 284 KUHP ini merupakan suatu delik aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan (yang dimalukan).
Kemudian mengenai sanksi yang dapat diterima oleh pelaku perselingkuhan, merujuk pada ketentuan Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a KUHP, pelakunya diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan. Hal ini berlaku untuk suami/istri Anda maupun perempuan/laki-laki yang menjadi selingkuhannya tersebut. Jika memang pernikahan anda suda tidak bisa dipertahankan lagi, maka jalur perceraian mungkin jalan yang terbaik. Dan alsan untuk bercerai dianggap sudah memenuhi peryaratan/alasan menurut hukum perkawinan. Sedangkan untuk kasus hukum pidananya anda bisa menggunakan pula pasal perselingkuhan sebagaimana yang telah diuraikan diatas.
Disclaimer - Jawaban konsultasi hukum semata-mata hanya sebagai pendapat hukum bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pendidikan serta tidak memiliki kekuatan hukum, yang tetap dan tidak mengikat sebagaimana putusan pengadilan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.