JAKARTA, KOMPAS.TV – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyetorkan uang rampasan dari perkara terpidana korupsi mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo senilai Rp72 miliar ke negara.
Hal itu disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Jumat (8/4/2022).
Baca Juga: KPK Bakal Pelajari Informasi Dugaan Korupsi Ahmad Sahroni dari Pengacara Adam Deni
Ali menyatakan, perampasan tersebut merupakan langkah KPK melakukan optimalisasi pemulihan kerugian keuangan negara (asset recovery).
“Jaksa Eksekutor KPK Hendra Apriansyah melalui Biro Keuangan telah melakukan penyetoran ke kas negara uang rampasan dari barang bukti perkara Terpidana Edhy Prabowo dkk.,” tuturnya.
Selain Rp72 miliar, KPK juga menyetorkan uang sebesar USD2.700 atau jika dirupiahkan setara Rp38,7 juta.
Baca Juga: Duduk Perkara Pegawai KPK Dijatuhi Sanksi karena Selingkuh dan Laporkan Albertina Ho ke Dewas
“Berdasarkan tuntutan jaksa KPK dan putusan pengadilan dinyatakan dirampas untuk negara,” ungkap Ali.
Ali menyatakan KPK terus mengedepankan pemidanaan perampasan hasil korupsi. Hal itu untuk memberikan efek jera bagi para terpidana korupsi.
“Kemudian dilakukan penyetoran hasil rampasan perkara tindak pidana korupsi maupun TPPU yang ditangani KPK dimaksud ke kas negara,” paparnya.
Edhy Prabowo merupakan terpidana kasus suap terkait perizinan ekspor benih bening lobster (BBL) atau benur di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Jaksa penuntut umum (JPU) KPK menuntut Edhy divonis lima tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan, kewajiban untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp9.687.457.219 dan 77 ribu dolar AS, serta pencabutan untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun sejak selesai menjalani hukuman.
Baca Juga: Kok Bisa Masa Hukuman Edhy Prabowo Disunat Mahkamah Agung?
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 15 Juli 2021 menjatuhkan vonis yang sama dengan tuntutan lima tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan, ditambah kewajiban membayar uang pengganti dan pencabutan hak dipilih selama dua tahun.
Namun, pada 21 Oktober 2021, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis Edhy menjadi sembilan tahun penjara ditambah denda sebesar Rp400 juta subsider enam bulan kurungan, membayar uang pengganti sejumlah Rp9.687.457.219 dan 77 ribu dolar AS, serta pencabutan untuk dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun.
Atas putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut, Edhy mengajukan kasasi pada 18 Januari 2022 dan Mahkamah Agung (MA) memutuskan mengurangi hukuman pidana penjara Edhy menjadi lima tahun dari yang sebelumnya sembilan tahun.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.