JAKARTA, KOMPAS.TV - Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengungkap skenario yang akan diambil dalam memuluskan perpanjangan masa jabatan presiden.
Langkah pertama yakni mengembalikan sistem pemilihan presiden melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Menurutnya masukan tersebut akan bisa diterima oleh partai politik jika wacana perpanjangan masa jabatan presiden ingin diwujudkan.
Baca Juga: Jimly Asshiddiqie Ingatkan Amendemen UUD Demi Perpanjang Jabatan Presiden Bisa Berujung Pemakzulan
Terlebih faktor kecocokan kepentingan politisi dengan pemerintah yang berkuasa dalam isu penundaan Pemilu 2024 sudah terjalin.
"Ini yang menjadi kekhawatiran paling besar ada saat ini. Kalau misal mengubah sistem pemilihan presiden, menjadi dipilih di MPR itu sangat mungkin beberapa partai akan tertarik dengan ide tersebut," ujar Zainal dalam webinar "Demokrasi Konstitusional dalam Ancaman", Rabu (16/3/2022).
Skenario selanjutnya yakni menciptakan kondisi yang seakan-akan obyektif, rasional, serta konstitusional untuk melakukan amandemen atas aturan masa jabatan atau proses pelaksanaan pemilu.
Langkah ini bisa menggunakan KPU sebagai alat. KPU bisa saja menyerah tidak melanjutkan proses tahapan atau tidak melanjutkan proses pemilu dengan seketika tercipta seakan-akan alasan obyektif, rasional, serta konstitusional mengubah Pasal 22 E UUD 1945.
Baca Juga: Demokrat: Big Data Luhut Tak Perlu Diributkan, Penundaan Pemilu adalah Pelanggaran Berat Konstitusi
Dengan kedua skenario tersebut, Zainal mengajak masyarakat harus menagih komitmen baik
kepada pemerintah atau presiden, legislatif, hingga KPU sebagai penyelenggara untuk
menyelenggarakan Pemilu 2024 mendatang.
Ia juga mengajak masyarakat untuk mengawal KPU agar tidak dirusak atau merusak dirinya sendiri sebagai alat dalam pemulusan penundaan pemilu 2024.
Sebab, terciptanya alasan objektif, rasional konstitusional itu salah satunya adalah KPU.
Baca Juga: Luhut-Mahfud Beda Sikap soal Pemilu 2024, PKS: Jokowi Tidak Pegang Kendali Kabinet
"Rasanya tidak ada negara demokrasi yang gemar bermain dengan masa jabatan. Jika Indonesia bermain-main dengan masa jabatan maka akan sangat tidak menguntungkan," ujarnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.