JAKARTA, KOMPAS.TV- Pengampunan pajak (tax amnesty) II yang diusulkan pemerintah mendapatkan penolakan dari sebagian anggota DPR, termasuk dari fraksi PDIP, pendukung terbesar pemerintah.
Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel menekankan agar rencana pemerintah untuk memberikan tax amnesty jilid II ini harus jelas tujuannya serta target sasarannya. Pemberian amnesti ini juga harus diberikan kepada pelaku ekonomi kecil, sehingga tidak hanya fokus pada pengusaha ekonomi besar.
“Jangan sampai cuma memutihkan dana di luar negeri tapi gagal melakukan repatriasi. Harus ada kombinasi keduanya,” kata Rahmat Sabtu (22/5/2021).
Menurut politikus Nasdem ini, pemberian tax amnesty jilid pertama pada beberapa waktu lalu belum mampu menjaring uang milik pengusaha yang disimpan di luar negeri untuk kembali ke Tanah Air.
Politisi Partai NasDem itu menjelaskan pemberian tax amnesty kepada pelaku ekonomi kecil dapat diberikan sebagai bentuk dukungan dan kepedulian pemerintah sebab program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) banyak mengalami hambatan.
Baca Juga: Pemerintah Gulirkan Rencana Tax Amnesty Jilid II dan Perubahan Tarif Pajak Penghasilan Individu
Sementara Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo dari fraksi PDIP menyatakan tidak setuju dengan tax amnesty jilid II tersebut. Menurutnya, hal tersebut tidak baik bagi masa depan sistem perpajakan di Indonesia serta mengingkari komitmen tax amnesty yang pertama kali dilakukan pada 2016 lalu.
“Tax amnesty hanya diberikan satu kali dalam satu generasi. Pelaksanaan tax amnesty jilid II akan meruntuhkan kewibawaan otoritas, yang pada gilirannya dapat berdampak negatif pada trust masyarakat wajib pajak. Rasa keadilan peserta tax amnesty, para wajib pajak yang patuh, serta wajib pajak yang sudah diaudit, tentu akan tercederai,” kata Andreas.
Secara psikologis, Andreas juga menilai jika tax amnesty tetap diberlakukan maka akan berdampak buruk karena menciptakan pemahaman baru di masyarakat, yaitu 'lebih baik tidak patuh membayar pajak karena akan ada tax amnesty lagi'. Perlu diketahui bahwa kebijakan tax amnesty tahun 2016 diimplementasikan sebagai wujud keterbukaan dan niat baik pemerintah.
Sementara anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati dari Fraksi PKS mengingatkan pemerintah untuk mempertimbangkan pihak wajib pajak yang patuh (honest tax payer).
Menurutnya, pembayar pajak yang patuh tentu akan merasa kecewa karena tidak merasa diuntungkan dengan adanya kebijakan yang kembali diulang ini. Nantinya, tingkat kepatuhan pajak di masa mendatang juga akan menurun seiring dengan mudahnya pemerintah menggulirkan tax amnesty.
Baca Juga: Siap-siap! Dirjen Pajak Mulai Incar Investasi Kripto, Kemenkeu Kaji Transaksi Kripto
“Selain kecewa, pembayar pajak yang jujur juga takut bahwa pendapatan negara yang hilang akibat tax amnesty akan menjadi beban pajak untuk mereka di masa yang akan datang. Hal ini bisa mendorong para pembayar pajak yang jujur untuk ikut melakukan pengemplangan. Dari sini kita dapat melihat bahwa sekarang justru bukan saat tepat untuk melakukan tax amnesty," ujarnya.
Sedangkan Fauzi Amroh, anggota Komisi XI dari Fraksi Nasdem menilai rencana pemerintah untuk kembali meneruskan kebijakan pengampunan pajak merupakan bentuk ketidakadilan.
"Ini kan nggak adil, yang UMKM dibidik pajaknya, sementara pengusaha besar diberi banyak insentif atau stimulus seperti kebijakan 0 DP untuk kredit otomatif termasuk pengampunan pajak atau tax amnesty,” ujar legislator dapil Sumatera Selatan II itu.
“Berhentilah memanjakan para pengusaha dengan kebijakan tax amnesty, kebijakan tersebut tak usah diteruskan, saat APBN kita lagi terus mengalami defisit karena pandemi. Pemerintah selain harus meningkatkan target pendapatan dari sektor pajak, juga harus lebih kreatif mencari sumber-sumber pendapatan lain, agar APBN kita tidak terus mengalami defisit," ujarnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.