JAKARTA, KOMPAS.TV - Penangkapan buronan Djoko Tjandra 30 Juli 2020, adalah momentum terbaik untuk membersihkan mafia peradilan di Indonesia.
Amat sayang jika momentum baik ini terlewat begitu saja. Namun untuk pengungkapannya butuh dukungan politik Presiden Joko Widodo.
Praktik mafia peradilan atau jual beli hukum sudah lama ada. Pada era orda baru ada Opstib yang dipimpin Sudomo, untuk mengungkap mafia peradilan dalam kasus korupsi mantan Kadolog Kaltim Budiadji.
Dalam kasus Djoko Tjandra, praktik mafia itu terang benderang. Ada unsur kepolisian, ada advokat, ada jaksa, ada pengusaha, jadi kaki tangan yang terlibat dalam perdagangan perkara kasus Djoko Tjandra.
Langkah Polri di bawah Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis patut diapresiasi. Masih ada waktu lima bulan bagi Kapolri menuntaskan kasus itu sebelum masa jabatannya berakhir Januari 2021. Polri telah menetapkan Irjen Napoloen Bonaparte sebagai tersangka kasus penghapusan red notice. Diduga ada imbalan uang di sana
Begitu juga Brigadir Jenderal Polisi Prasetijo Utomo, Advokat Anita Kolopaking, Djoko Tjandra sendiri dalam penggunaan surat palsu, dan pengusaha Tommy Sumardi. Langkah Jenderal Idham ini menunjukkan komitmen Polri untuk bersih-bersih.
Yang terasa lambat justru di kejaksaan dan organisasi advokat. Setelah sekian lama kejaksaan menetapkan jaksa Pinangki Mirna Milasari sebagai tersangka. Jaksa Pinangki disangka menerima gratifikasi.
Awalnya Pinangki dituduh melakukan tindakan indisipliner karena sering bepergian ke luar negeri tanpa izin atasan. Kemudian, foto jaksa pinangki bertebaran di media sosial foto, saat jaksa Pinangki bersama Anita Kolopaking dan Djoko Tjandra di Kuala Lumpur.
Justru yang perlu didalami adalah peran jaksa Pinangki dalam kasus buronan Djoko Tjandra. Pinangki bukanlah jaksa yang ditugasi menangkap buronan Djoko Tjandra. Pinangki juga bukan jaksa penuntut Djoko Tjandra, yang bisa membereskan perkara ini.
Jadi sangat tidak mungkin kalau Pinangki bekerja sendirian. Meski bukan tugasnya, Pinangki ternyata bisa bertemu dengan Joe Tjan yang belakangan dikenalnya sebagai Djoko Tjandra. Kabarnya pertemuan itu dilaporkan Pinangki ke elit Kejaksaan Agung. Ini yang harus dicari.
Lalu peran apa yang sedang dijalankan Pinangki? Justru itulah pertanyaan besar yang harus diungkap kejaksaan. Apakah Pinangki bekerja sendirian untuk dirinya? Rasanya tidak mungkin. Atau Pinangki justru yang menjadi perantara mengatur perkara pembebasan Djoko Tjandra dengan imbalan uang? Itu yang harus ditelusuri. Dari pemberitaan sejumlah media Pinangki diduga menerima 500 ribu dollar AS atau sekitar Rp 7 miliar.
Baca Juga: Diperiksa Bareskrim Polri Soal Djoko Tjandra, Ini yang Ditanyakan Penyidik ke Antasari Azhar
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.