JAKARTA, KOMPAS.TV - Vaping atau merokok vape atau rokok elektrik, dianggap sebagai pilihan lebih aman dibandingkan dengan merokok. Namun, para peneliti kini memperingatkan bahwa penggunaan rokok elektrik ini secara teratur memiliki risiko kesehatan tersendiri.
Melansir Medical Daily, Selasa (30/4/2024), sebuah studi baru mengungkapkan bahwa remaja yang sering ngevape mungkin menghadapi peningkatan paparan logam berbahaya seperti timbal dan uranium, yang berpotensi memiliki dampak buruk pada perkembangan otak dan organ.
Berdasarkan temuan yang dipublikasikan dalam jurnal Tobacco Control, peneliti merekomendasikan penerapan peraturan dan inisiatif pencegahan yang khusus ditujukan pada remaja.
Baca Juga: Angka Pasien Anak Dirawat Inap karena Vape dan Rokok Elektrik Melonjak 733 persen di Inggris
Vaping lazim di kalangan remaja, dengan sekitar 14 persen siswa sekolah menengah atas di Amerika Serikat (sekitar 2,14 juta) dan lebih dari tiga persen siswa sekolah menengah (sekitar 380.000) melaporkan penggunaan vaping dalam bulan terakhir pada 2022.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa logam berbahaya tertentu ditemukan dalam aerosol dan cairan rokok elektrik, yang sangat berisiko selama tahap perkembangan. Ini dapat menyebabkan gangguan kognitif, masalah perilaku, masalah pernapasan, kanker, dan penyakit jantung pada anak-anak.
Dalam studi terbaru, para peneliti memeriksa apakah frekuensi dan rasa vaping berkorelasi dengan kadar logam yang berpotensi beracun. Mereka menggunakan data dari PATH Youth Study Gelombang 5, menganalisis tanggapan dari 1.607 remaja berusia 13 hingga 17 tahun.
Penelitian tersebut mencakup rasa vaping, seperti mentol atau mint, buah, permen seperti coklat atau makanan penutup, tembakau, cengkeh atau rempah-rempah, dan minuman beralkohol atau minuman non-alkohol.
Baca Juga: Tak Hanya bagi Perokok, Uap Vape Ternyata Juga Berbahaya untuk Orang di Sekitarnya
Di antara peserta, 200 remaja diikutsertakan dalam analisis akhir sebagai perokok vaper eksklusif. Sampel urine mereka diuji keberadaan kadmium, timbal, dan uranium. Berdasarkan frekuensi vapingnya, mereka dikategorikan menjadi sesekali (1-5 hari/bulan), intermiten (6-19 hari), dan sering kali (20+ hari).
Terdapat 65 pengguna sesekali, 45 intermiten, dan 81 pengguna rutin, dan informasi frekuensi vaping tidak ada untuk 9 orang. Mengenai rasa, 33 persen pengguna vape mengatakan mereka menggunakan rasa mentol/mint, sementara 50 persen lebih menyukai rasa buah, lebih dari 15 persen memilih rasa manis, dan 2 persen menggunakan rasa lain.
"Analisis sampel urine menunjukkan bahwa kadar timbal 40 persen lebih tinggi pada pengguna vape intermiten, dan 30 persen lebih tinggi pada pengguna vape rutin dibandingkan pengguna vape sesekali. Kadar uranium dalam urine juga dua kali lebih tinggi pada pengguna vape rutin dibandingkan pengguna vape sesekali," kata peneliti.
Sementara, perbandingan jenis rasa menunjukkan tingkat uranium 90 persen lebih tinggi pada pengguna vape yang lebih menyukai rasa manis dibandingkan mereka yang memilih mentol atau mint.
Karena penelitian ini bersifat observasional, kesimpulan pasti tidak dapat dibuat mengenai kadar logam beracun dan frekuensi/rasa vaping. Selain itu, kadar logam beracun dalam vape akan bervariasi berdasarkan merek dan jenis alat penguap yang digunakan (tangki, pod, mod).
“Penggunaan rokok elektrik selama masa remaja dapat meningkatkan kemungkinan paparan logam, yang dapat berdampak buruk pada perkembangan otak dan organ. Temuan ini memerlukan penelitian lebih lanjut, peraturan vaping, dan intervensi kesehatan masyarakat yang ditargetkan untuk mengurangi potensi bahaya penggunaan rokok elektrik, khususnya di kalangan remaja,” demikian kata para peneliti menyimpulkan.
Sumber : Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.