Severity: Notice
Message: Undefined property: stdClass::$iframe
Filename: libraries/Article_lib.php
Line Number: 238
Backtrace:
File: /var/www/html/frontendv2/application/libraries/Article_lib.php
Line: 238
Function: _error_handler
File: /var/www/html/frontendv2/application/controllers/Read.php
Line: 85
Function: gen_content_article
File: /var/www/html/frontendv2/index.php
Line: 314
Function: require_once
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
Seorang wartawan senior berbincang dengan saya, pekan lalu. ”Ini gimana, ya. Pada Hari Pers Nasional, Presiden Joko Widodo bicara tentang perlunya proteksi industri pers agar punya ekosistem bagus, tetapi RUU Omnibus Law Cipta Kerja malah nyerempet revisi UU Pers yang cenderung membebani pers.”
Saya merespons seperti ini. Maksud RUU Cipta Kerja seharusnya baik. Menciptakan transformasi ekonomi, membereskan sektor perizinan yang ruwet. Hanya memang harus diakui ada masalah dalam perumusannya, dalam pembuatan undang-undang.
Membaca RUU Cipta Kerja soal pers membingungkan. Apa kaitan revisi UU Pers melalui RUU Cipta Kerja dengan penciptaan lapangan kerja? Pertama, pemerintah ingin mengembangkan usaha pers lewat pasar modal. Peluang modal asing masuk ke industri pers nasional terbuka. Rumusan itu sudah ada di UU Pers.
Hal kedua adalah soal penambahan ancaman pidana denda sampai Rp 2 miliar dan memberikan ruang kepada pemerintah menjatuhkan sanksi administrasi. RUU Cipta Kerja memberikan ruang bagi pemerintah membuat peraturan pemerintah terkait denda dan sanksi administratif.
Pasal 18 Ayat (2) RUU Cipta Kerja mengatur, perusahaan pers yang melanggar Pasal 5 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 13 dipidana dengan pidana paling banyak Rp 2 miliar. Dalam UU Pers, pasal itu sudah ada. Dendanya Rp 500 juta.
Pasal 5 Ayat (1) yang dirujuk berbunyi, Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pasal 5 Ayat (2), pers wajib melayani hak jawab. Sementara itu, Pasal 13 mengatur soal iklan.
Bunyi Pasal 13, perusahaan iklan dilarang memuat iklan (a) yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat; (b) minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (c) peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok. RUU Cipta Kerja mengenakan pidana maksimal Rp 2 miliar bagi pelanggaran itu.
Di sinilah problematika RUU Cipta Kerja. Tidak ada keterkaitan logis antara penciptaan lapangan kerja dan penambahan ancaman pidana denda di perusahaan pers. Tidak ada hubungan kausalitas antara pemuatan iklan yang dilarang undang-undang dan penciptaan lapangan kerja.
Apalagi, penambahan sanksi pidana denda bagi pers yang tak memuat hak jawab dengan kemungkinan investasi di sektor media dan penciptaan lapangan kerja. Itu enggak nyambung.
Lalu, kenapa pasal itu muncul? Justru di situ pertanyaannya. Fakta itu memunculkan pesan ada penumpang gelap yang membawa pasal titipan. Dalam acara Satu Meja The Forum di Kompas TV, 26 Februari, saya menanyakan soal pasal itu kepada Rosan Roeslani, Ketua Tim Satgas RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Dia mengaku tak tahu adanya pasal itu dan tidak pernah melihatnya. Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta merespons, ”Itu masih RUU, kan, masih dibahas di DPR.”
Ada yang tidak nyambung antara kebijakan penciptaan lapangan kerja dan revisi UU Pers. Tidak nyambung pula dengan pidato Presiden pada peringatan Hari Pers Nasional, 8 September 2020, di Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Presiden menunjukkan keberpihakannya pada pers nasional. ”Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang mendapatkan informasi yang sehat. Informasi yang baik memerlukan jurnalisme yang baik dan ekosistem yang baik.
Ekosistem media harus dilindungi dan diproteksi sehingga masyarakat mendapatkan konten berita yang baik. Untuk itu, diperlukan industri pers yang sehat,” tutur Presiden.
Menambah sanksi denda perusahaan pers merupakan salah satu pasal keblinger dalam RUU Cipta Kerja. Pasal keblinger itu banyak, termasuk yang sudah ramai dibicarakan soal dibolehkannya peraturan pemerintah (PP) dengan konsultasi pimpinan DPR mengubah undang-undang serta perda yang bisa direvisi peraturan presiden.
RUU omnibus law ini memang ambisius. Hampir semua profesi diaturnya, mulai dari guru, dosen, mahasiswa, bidan, pelaut, urusan pariwisata, hingga urusan haji. Seharusnya fokus saja soal kemudahan investasi dan debirokratisasi perizinan.
Di balik pencantuman pasal, tentunya ada maksud. Masalahnya, tak ada yang mengaku sebagai pihak yang memasukkan pasal itu dan menyampaikan argumentasinya. Ketika argumentasi dikemukakan, bisa muncul perdebatan. Itu sehat dalam demokrasi. Namun, semua balik badan. Ruang diskusi tertutup.
Mengacu UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memang tidak dikenal pembahasan RUU model omnibus. Banyak undang-undang direvisi satu undang-undang. Namun, exercise constitutional ini sepenuhnya tergantung dari DPR.
Pasal 70 UU No 12/2011 memberi kesempatan kepada pemerintah menarik UU, membahasnya kembali, dan membersihkan pasal keblinger. Namun, seandainya mau terus dibahas, itu pilihan politik. Asalkan, jangan RUU Cipta Kerja ini membuat bangsa ini celaka karena kelemahan para drafter. Kasihan Pak Jokowi.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.