Oleh: Mariana Amiruddin, Aktivis Perempuan
Seseorang merekam video dirinya yang disimpan sebagai konten pribadi. Konten itu adalah miliknya yang sangat pribadi. Sepribadi buku harian seseorang untuk menumpahkan segala hal yang dirahasiakan.
Buku harian seseorang tidak boleh diintip siapapun karena sifatnya yang sangat pribadi. Karena itulah dahulu kita menemukan buku-buku harian yang terdapat kunci dan gembok yang disimpan pemiliknya sebagai tanda rahasia.
Orang yang mengintip buku harian, maka dianggap pencuri. Si pemilik buku harian akan marah karena merasa hal-hal pribadinya diketahui.
Saat ini, buku harian itu ibarat konten digital yang digunakan saat ini. Baik berupa foto ataupun video.
Artis GA, adalah si pemilik “buku harian” itu. Mungkin sudah tiga tahun lamanya disimpan di perangkat elektroniknya. Kelemahan perangkat elektronik, ia tidak seperti buku harian yang kelihatan secara fisik dan bisa disimpan dengan baik. “Buku harian” berupa video itu tercecer sampai ditemukan orang lain dalam perangkat elektronik yang mungkin sudah bukan miliknya lagi.
Sampai akhirnya video itu disebarkan seseorang melalui media sosial yang berisi jutaan netizen. Netizen mengkonsumsinya sebagai barang pornografi. Netizen lain mengamuk karena dianggap video asusila.
Persoalan menjadi besar dan meluas ketika video milik pribadi itu disebarkan dan menjadi konsumsi publik. Celakanya, bukan si penyebar yang menjadi masalah, tetapi orang di dalam video itu.
Keputusan hukum kemudian menimpakan kesalahan itu pada artis GA sebagai orang yang ada di dalam konten pribadinya—yang dicuri/diambil dan disebarkan seseorang. UU Pornografi pasal 4 yang menjadi alatnya.
UU ini menjadi jebakan ketika dilihat dari kacamata umum, bahwa apapun itu yang penting orang yang ada di dalam konten tersebutlah yang bersalah. Padahal bila dilihat dengan jeli, UU itu mengandung makna produksi atau pembuatan materi pornografi yang ditujukan untuk disebarkan, diperjualbelikan, atau disewakan. Intinya, untuk konsumsi publik.
Dalam kategori ini GA tidak melakukannya. Dia justru korban, dimana konten pribadinya diambil (dicuri), dan disebarkan secara sewenang-wenang. Dampak kerugian justru terjadi pada GA.
Pertama, pencemaran nama baik. Kedua, dampak pencemaran nama baik ini secara tidak langsung menjadi kerugian pada keluarga, termasuk anaknya. Ketiga, GA menjadi bahan atau obyek eksploitasi seksual banyak orang terutama netizen, yang juga dilakukan berbagai media, yang dikemas menjadi urusan ranjang, atau urusan aktivitas pribadi orang lain.
Ini kejadian kesekian kalinya setelah UU Pornografi disahkan, yang menjadi jebakan orang yang merekam aktivitas seksual untuk kepentingan pribadi, menjadi hal yang dipidanakan ketika disebar.
Konsepsi pada UU Pornografi menjadi rancu ketika kacamata umum digunakan. Seharusnya pihak penyebarlah sebagai aktor persoalan. Pertama dia telah mengambil/mencuri. Kedua, dia sengaja menyebarkan untuk konsumsi publik. Orang-orang di dalam konten video tersebut seharusnya dilindungi, bukan dihukum.
Mereka adalah pihak yang paling dirugikan karena tercemar sebagai orang yang asusila, dilecehkan dan dieksploitasi. Ditonton oleh banyak orang, yang tentu menghasilkan rasa malu dan trauma mendalam.
UU Pornografi ini perlu ditinjau kembali agar tidak mengorbankan orang yang justru dirugikan. Pasal-pasalnya perlu diperbaiki, untuk melindungi calon-calon korban lain yang tidak memiliki tujuan untuk mempublikasikan konten pribadinya.
GA bukan pelaku pornografi, ia adalah korban dari seorang yang mengambil/mencuri, menyebarkan, dan menjadikan konten pribadinya sebagai konsumsi pornografi ke publik. Aparat perlu menangkap pencuri/pengambil dan penyebar hak milik pribadinya, dan membebaskan GA.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.