JAKARTA, KOMPAS.TV - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan bahwa kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump keluar dari Perjanjian Iklim Paris 2015 dapat berdampak ke program transisi energi Indonesia.
Bhima pun menyarankan agar pemerintah segera mencari alternatif transisi energi untuk mengantisipasi keluarnya AS. Menurutnya, Indonesia dapat merapat ke Timur Tengah untuk mengamankan kerja sama baru di bidang transisi energi.
“Indonesia harus mencari partner baru untuk mendorong kerja sama transisi energi, salah satunya Timur Tengah,” kata Bhima, Rabu (22/1/2025).
Baca Juga: Presiden Meksiko Tertawakan Perintah Trump Namai Teluk Amerika: Dunia Menyebutnya Teluk Meksiko
Bhima menambahkan, negara-negara Timur Tengah adalah mitra potensial dan selama ini telah membantu pembangunan di Indonesia. Salah satu contohnya adalah proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Cirata, Jawa Barat yang merupakan hasil kerja sama dengan Uni Emirat Arab (UEA).
Menurut Bhima, dampak keputusan Trump keluar dari Perjanjian Paris 2015 cukup signifikan bagi Indonesia. Salah satu risikonya terkait program Kemitraan Transisi Energi yang Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership/JETP) di Indonesia yang dipimpin AS.
Pada saat bersamaan, Indonesia butuh anggaran besar untuk membangun infrastruktur energi baru-terbarukan guna mempercepat penghentian pembangkit listrik tenaga batubara sesuai komitmen Presiden Prabowo Subianto di G20.
Apabila JETP tidak diteruskan, Indonesia berpotensi kehilangan donor terbesar di bidang transisi energi. Hal tersebut mengancam keberlangsungan proyek-proyek yang didanai AS.
Di lain sisi, Bhima menyebut keluarnya AS dari Perjanjian Paris 2015 dapat menimbulkan gejolak harga nikel dan baterai di pasar internasional.
“Padahal, Indonesia sedang mendorong agar nikel dan berbagai barang mineral dari proses hilirisasi bisa masuk ke rantai pasok global, khususnya ke pasar Amerika Serikat. Tapi, dengan Trump yang mendorong produksi migas domestik, ini menjadi ancaman serius bagi masa depan ekspor nikel Indonesia,” kata Bhima dikutip Antara.
Untuk memitigasi dampak keluarnya AS dari Perjanjian paris 2015, Bhima menyarankan agar pemerintah segera menerapkan pembatasan produksi bijih nikel dan menghentikan pembangunan smelter baru. Langkah ini diharapkan dapat menjaga harga nikel pada 2025.
“Karena jika Indonesia oversupply nikel, sementara Amerika Serikat mengurangi permintaan, ini akan berdampak buruk terhadap harga jual nikel olahan di pasar internasional,” katanya.
Baca Juga: Indonesia Desak DK PBB Ambil Langkah Nyata Akhiri Penderitaan Rakyat Palestina
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas TV/Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.