YERUSALEM, KOMPAS.TV — Seorang perwira di korps lapis baja Israel bernama Yotam Vilk mengatakan, bayangan seorang tentara Israel yang membunuh seorang remaja Palestina tak bersenjata di Jalur Gaza terus membekas di dalam benaknya.
Ia menyatakan, instruksi yang diberikan pada mereka adalah untuk menembak siapa pun yang tidak berwenang yang memasuki zona penyangga yang dikuasai Israel di Gaza.
Dia melihat dengan mata kepala sendiri, sedikitnya 12 orang dibunuh. Tetapi penembakan terhadap remaja itu tidak dapat dia lupakan seumur hidup.
"Dia tewas sebagai bagian dari cerita yang lebih besar. Sebagai bagian dari kebijakan untuk tetap tinggal di sana dan tidak menganggap orang Palestina sebagai manusia," ujar Vilk, 28 tahun, seperti dikutip dari The Associated Press.
Vilk merupakan salah satu dari sejumlah tentara Israel yang menentang konflik Israel-Palestina dan menolak untuk bertugas lagi. Ia mengatakan bahwa salah satu alasan penolakan bertugas adalah karena mereka trauma melihat atau melakukan hal-hal di luar batas etika.
Baca Juga: Arab Saudi Ngamuk Muncul Peta Israel Klaim Wilayah Suriah, Yordania dan Lebanon, Kutuk Ambisi Zionis
Kini terjadi gerakan tentara Israel untuk menolak kembali bertempur di Gaza. Meskipun gerakan ini kecil, hanya ditandatangani oleh sekitar 200 tentara, namun mereka mengatakan ini hanyalah puncak dari gunung es.
Sekitar 200 tentara Israel menandatangani surat yang menyatakan mereka akan berhenti bertempur jika pemerintah tidak menyetujui gencatan senjata.
Penolakan mereka terjadi di saat tekanan meningkat pada Israel dan Hamas untuk mengakhiri pertempuran. Pembicaraan gencatan senjata pun saat ini tengah berlangsung.
Tujuh tentara yang menolak untuk melanjutkan pertempuran di Gaza menjelaskan bagaimana warga Palestina dibunuh tanpa pandang bulu dan rumah-rumah dihancurkan.
Beberapa mengatakan mereka diperintahkan untuk membakar atau menghancurkan rumah-rumah warga sipil yang tidak menimbulkan ancaman. Mereka juga melihat tentara Israel menjarah dan merusak tempat tinggal.
Tentara diharuskan untuk menjauhi politik, dan mereka jarang berbicara menentang kebijakan tentara Israel. Setelah Hamas menyerbu Israel pada 7 Oktober 2023, Israel dengan cepat bersatu di belakang perang yang dilancarkan terhadap kelompok militan tersebut.
Baca Juga: Hamas Tak Takut Ancaman Trump Bikin Timur Tengah Jadi Neraka: Israel Tetap Harus Cabut dari Gaza
Perpecahan di sini telah berkembang seiring dengan berlanjutnya perang, tetapi sebagian besar kritik difokuskan pada meningkatnya jumlah tentara yang tewas dan kegagalan membawa pulang sandera.
Penolakan dari internal tentara Israel ini tidak mengherankan, mengingat kelompok hak asasi internasional juga telah menetapkan Israel sebagai pelaku kejahatan perang dan genosida di Gaza. Mahkamah Kriminal Internasional bahkan sedang berupaya menangkap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant.
Israel dengan tegas menolak tuduhan genosida dan mengatakan bahwa mereka mengambil tindakan luar biasa untuk meminimalkan kerugian warga sipil di Gaza. Militer mengatakan bahwa mereka tidak pernah secara sengaja menargetkan warga sipil, dan menyelidiki serta menghukum kasus-kasus dugaan pelanggaran.
Sementara itu, militer Israel mengatakan bahwa mereka mengutuk penolakan sebagian tentara untuk bertugas dan menanggapi setiap seruan penolakan dengan serius. Mereka mengatakan akan memeriksa setiap kasus secara individual.
Tentara Israel dapat dipenjara karena menolak bertugas. Namun, hingga kini belum ada seorang pun yang menandatangani surat tersebut telah ditahan.
Sumber : The Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.