GAZA, KOMPAS.TV - Ratusan warga dan aktivis Palestina menyerang dan mengkritik pemerintahan Hamas di Gaza melalui sebuah acara online.
Acara They Kidnapped Gaza merupakan diskusi audio di Twitter yang ditayangkan Kamis (27/1/2022), menjadi sarana mereka melontarkan kecaman.
Acara diskusi yang berlangsung selama tiga jam itu diorganisir oleh lima warga Gaza yang meninggalkan area itu setelah bergabung dengan demonstrasi We Want To Live pada Maret 2019.
Salah satu yang mengkritik pemerintahan Hamas adalah bekas warga Gaza, Mahmoud Nashwan.
Baca Juga: Terkejut Indonesia Bakal Punya Ibu Kota Negara Baru, Petinggi Perusahaan Jepang: Coba Pindah ke Bali
“Bayangkan putra Anda yang berusia satu bulan tewas karena kedinginan. Bayangkan putra Anda sekarang karena tak ada listrik, uang, gaji dan rumah,” ujar Nashwan, insinyur berusia 32 tahun yang kini tinggal di Belgia dikutip dari BBC.
“Ketidakadilan bakal jatuh dan setiap penindas akan jatuh,” tambahnya.
Kondisi kehidupan di Gaza sangat buruk. Ada kekurangan air yang parah.
Selain itu, pengolahan limbah yang buruk dan pemadaman listrik yang panjang terjadi setiap hari.
Sedangkan, sekitar 67 persen angkatan kerja muda menganggur, dengan angka tertinggi di antara lulusan.
Ekonomi di Gaza telah terpukul parah oleh pandemi dan konflik 11 hari antara Israel dan militant Hamas pada Mei 2021.
Namun, sangat jarang bisa mendengar warga menyuarakan keluhan tentang mereka yang bertanggung jawab karena merasa takut.
Baca Juga: Kengerian Jika Rusia Serang Ukraina Diungkapkan Pentagon, Sebut akan Ada Kehancuran yang Signifikan
“Hamas memiliki miliaran dolar dalam investasi di banyak negara, sementara orang (di Gaza) mati kelaparan dan bermigrasi untuk mencari pekerjaan,” ujar aktivis Amer Balosha pada acara di media sosial tersebut.
Ia pun menyoroti penderitaan lebih dari 100 warga Gaza, yang sekarang dipenjara di Turki setelah mencoba melakukan perjalanan secara ilegal ke Yunani untuk mencari kehidupan baru di Eropa.
“Hamas, yang bertanggung jawab atas upaya mereka untuk beremigrasi karena kebijakannya, tidak melakukan intervensi untuk membebaskan mereka,” tutur Balosha.
Balosha sendiri kini tinggal di Istanbul, setelah sempat ditangkap oleh polisi Hamas karena mengorganisir Pergerakan 14 Maret, demonstrasi yang terjadi pada 2019.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.