KHARTOUM, KOMPAS.TV – Sebanyak 89 orang di Sudan Selatan, meninggal dunia akibat penyakit misterius yang menyerang Fangak dan Negara Bagian Jonglei di Sudan Selatan.
Kematian yang mendekati 100 orang tersebut menyebabkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyelidiki jenis penyakit penyebabnya.
Dilansir Kompas.com, BBC mencatat, sampel awal yang dikumpulkan di daerah tersebut menunjukkan hasil negatif kolera.
"Kami memutuskan untuk mengirim tim respons cepat untuk pergi dan melakukan penilaian risiko dan penyelidikan,” kata Sheila Baya dari WHO kepada BBC.
Baca Juga: Militer Sudan Sepakat Pulihkan Pemerintahan Sipil dan Posisi PM Abdalla Hamdok
Dia menjelaskan, pihaknya akan mengumpulkan sampel dari para pasien.
"Saat itulah mereka akan dapat mengumpulkan sampel dari orang yang sakit, tetapi untuk sementara angka yang kami dapatkan adalah 89 kematian."
Namun, banjir parah yang terjadi di wilayah itu menyebabkan pihaknya kesulitan untuk mencapai daerah Fangak. Dia dan timnya kemudian menunggu helikopter.
Banjir di daerah itu menyebabkan 200 ribu orang meninggalkan rumah mereka untuk mengungsi.
Badan kemanusiaan Concern Worldwide mengatakan itu adalah banjir terburuk dalam hampir 60 tahun.
Menurut County Director dari Concern di Sudan Selatan, Shumon Sengupta, situasi di daerah itu mengerikan.
Menurutnya, berdasarkan catatan lokal, tidak pernah ada banjir sebesar itu di wilayah tersebut sejak 1962.
"Besarnya banjir tahun ini sangat besar. Lebih dari 200.000 orang, lebih dari seperempat penduduk lokal di Unity State terpaksa meninggalkan rumah mereka sebagai akibat dari meningkatnya air banjir,” katanya melansir Newsweek pada Kamis (16/12/2021).
Baca Juga: Tentara Tembak Mati 15 Pengunjuk Rasa Penentang Kudeta Militer di Sudan
Lembaga seperti Concern Worldwide bekerja tanpa lelah untuk menanggapi meningkatnya krisis kemanusiaan, (dengan bantuan keuangan dari donor seperti BHA/USAID, ECHO, GAC, EFP dan UNICEF).
Namun, menurut Sengupta, kebutuhannya jauh melebihi skala respons kemanusiaan saat ini, baik di dalam maupun di luar kamp untuk pengungsi internal.
"Keluarga telah mengungsi dan berlindung di tempat yang lebih tinggi, di gedung-gedung publik atau dengan tetangga atau keluarga. Akses ke layanan dasar termasuk dukungan kesehatan dan nutrisi telah terganggu karena klinik rusak, terendam banjir, atau tidak dapat diakses."
Badan amal internasional, Medecins Sans Frontieres, mengkhawatirkan terjadinya malnutrisi akibat banjir yang menekan fasilitas kesehatan.
"Kami sangat prihatin soal malnutrisi, dengan tingkat malnutrisi akut yang parah dua kali lipat dari ambang batas WHO, dan jumlah anak yang dirawat di rumah sakit kami dengan malnutrisi parah berlipat ganda sejak awal banjir."
Sumber : Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.