NEW YORK, KOMPAS.TV - Warga Korea Utara yang hidup di bawah pembatasan pandemi yang ketat, kini menghadapi krisis pangan.
Penyelidik dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan hal ini dalam laporan yang dirilis Rabu (13/10/2021). Anak-anak dan orang lanjut usia merupakan kelompok yang paling berisiko terancam kelaparan.
Tomás Ojea Quintana mengatakan dalam laporannya kepada Majelis Umum PBB bahwa sektor pertanian Korea Utara menghadapi banyak tantangan karena penurunan impor pupuk dan barang-barang pertanian lainnya dari China.
Hal ini merupakan dampak dari sanksi PBB kepada Korea Utara dan wabah demam babi Afrika.
Dia mengatakan, pengetatan terkait pandemi yang terjadi sejak Januari 2020 telah membuat kesulitan ekonomi yang parah.
Langkah-langkah pandemi yang ketat sejak Januari 2020 telah mengakibatkan kesulitan ekonomi yang parah. Langkah-langkah terkait pandemi di antaranya adalah penutupan perbatasan dan pembatasan impor.
Baca Juga: Pembelot: Korea Utara Jualan Sabu-Sabu dan Senjata demi Dana Revolusi
Sebelum pandemi Covid-19, lebih dari 40 persen warga Korea Utara sebenarnya sudah berada dalam situasi tidak aman pangan.
Banyak warga Korea Utara yang menderita kekurangan gizi dan pertumbuhan terhambat. Kini setelah pandemi, jumlahnya semakin meningkat.
“Banyak pabrik dan tambang tutup karena kekurangan listrik, suku cadang mesin, dan bahan baku. Jumlah tunawisma dan anak jalanan meningkat dan masalah sosial seperti prostitusi, penggunaan narkoba, perdagangan narkoba, dan perampokan dilaporkan meningkat karena kekurangan ekonomi," kata Ojea Quintana.
Dalam laporan akhirnya, Ojea Quintana meminta Dewan Keamanan PBB untuk mempertimbangkan pencabutan sanksi yang berdampak negatif terhadap bantuan kemanusiaan dan hak asasi manusia di Korea Utara.
Negosiasi nuklir antara Washington dan Pyongyang telah terhenti selama lebih dari dua tahun karena ketidaksepakatan atas permintaan Korea Utara untuk mengakhiri sanksi yang dipimpin AS dan tuntutan AS untuk langkah signifikan Korea Utara menuju denuklirisasi.
Korea Utara diketahui telah meningkatkan aktivitas uji misilnya dalam beberapa pekan terakhir, sambil membuat tawaran perdamaian bersyarat ke Korea Selatan.
Baca Juga: Korea Utara Peringatkan Dewan Keamanan PBB agar Tidak Merecoki Program Rudalnya
“Inilah waktunya untuk mengirimkan sinyal yang jelas, mengambil tindakan nyata dan menemukan cara-cara kreatif untuk memberikan momentum pada proses diplomatik yang terhenti untuk mengamankan penyelesaian konflik secara damai,” kata Ojea Quintana seperti dikutip dari The Associated Press.
Sejak ia diangkat ke jabatannya pada tahun 2016, Korea Utara menolak untuk memberi izin pada Ojea Quintana untuk mengunjungi negara itu.
Dia mengatakan Covid-19 telah membatasi kunjungannya ke negara-negara tetangga, sehingga dia mengadakan serangkaian pertemuan online dengan para korban hak asasi manusia.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.