JAKARTA, KOMPAS.TV- Setiap merayakan momen hari bahagia, kurang lengkap bila tidak disertai dengan kehadiran tumpeng. Tumpukan nasi berwarna kuning membentuk kerucut seperti puncak gunung yang dihiasi dengan telur, tomat, kemangi dan berbagai makanan pelengkap lainnya.
Mulai dari hari ulang tahun, peresmian kantor atau rumah baru tumpeng senantiasa hadir. Tidak heran bila tumpeng identik dengan makanan nusantara.
Bentuk kerucut dari tumpeng, diyakini sebagai simbol dari gunung, yang dianggap sakral dan keramat oleh masyarakat nusantara sejak lama.
Menurut Travelling Chef Wira Hardiansyah, ada dua versi sejarah mengenai tumpeng. Pertama berasal dari kepercayaan Kapitayan, yakni kepercayaan asli penduduk Jawa kuno, yang memuja Tuhan yang mereka sebut Sanghyang Taya.
Arti Sanhyang Taya sendiri adalah hampa atau kosong. Menurut dia, penganut Kapitayan percaya bahwa kekuatan-kekuatan itu muncul dari titik titik tertentu. Pada titik tertentu seperti pintu inilah yang kemudian diletakkan sesajen oleh masyarakat kapitayan.
Baca Juga: Cara Membuat Nasi Tumpeng Merah Putih dan Hiasannya Untuk Sambut HUT ke-76 RI
“Sesaji ini yaitu ayam, belum diklarifikasi ini ayam hidup atau ayam sudah ada pengorbanan dan keranjang bunga," ucap Wira, dalam acara webinar virtual Sarasehan Tumpeng oleh Aksara Pangan bekerja sama dengan Teknologi Pertanian UGM, Jumat 11 Desember 2020 silam, dikutip dari Kompas.Com
Nah, ayam dan keranjang bunga inilah yang disebut tumpeng.
Versi kedua, tumpeng dari Sunda Wiwitan, yakni kepercayaan masyarakat Sunda lama yang memiliki kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur dan bersatu dengan alam.
Menurut Wira, masyarakat sunda punya dongeng yaitu gunung itu lahir berdasarkan sinergi antara tata surya. Orang zaman dulu menyebut matahari sebagai Sang Batara Guru atau Agung, dan bumi disebut Dewi Bumi. Akibat matahari dan bumi itu terus bersinergi maka muncul lah gunung. Maka bagi orang Sunda, gunung dianggap sakral. “Jadi orang Sunda Wiwitan mensakralkan yang namanya gunung, karena bagi mereka gunung itu ialah Parahyang atau Gunung Agung Batara Guru,” tuturnya.
Karena itu, bentuk tumpeng bagi orang sunda itu hampir mirip dengan matahari. "Orang Sunda Wiwitan menaruh nasi tumpeng dengan ayam. Ayamnya tidak mati, karena bagi mereka itu pengorbanan. Tapi ayamnya hidup, jadi nasi dan ayam,” ujar Wira.
Baca Juga: Cerita Legenda-Legenda PSIM Yogyakarta Berikan Tumpeng ‘92 Tahun’ ke Manajemen Laskar Mataram
Seiring dengan perkembangan waktu dan perubahan kepercayaan masyarakat Nusantara, tradisi tumpeng tidaklah luntur. Agama tidak menjadi penghalang untuk menghadirkan tumpeng sebagai simbol rasa syukur kepada sang Pencipta.
Nasinya yang gurih dengan berbagai makanan yang menyertainya menjadi sajian kuliner yang tidak tergantikan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.