JAKARTA, KOMPAS.TV - Di usianya yang sudah memasuki 50 tahun, Barnel Tito masih berharap bisa masuk ke dunia kerja seperti ketika berusia muda dulu. Bukan tak berpengalaman, Tito, sapaannya, pernah bekerja di Human Resource Development (HRD) sebuah perusahaan pengelola gedung perkantoran selama hampir 15 tahun sebagai karyawan tetap.
Sarjana ekonomi ini juga pernah berkali-kali menjadi karyawan kontrak hingga akhirnya tidak lagi memiliki pekerjaan sama sekali.
Agar tetap punya penghasilan bagi keluarganya, Tito pun memilih menjadi driver ojek online. Terkadang, sambil ngojek, di bagian belakang jaketnya dia menempelkan secarik kertas semacam pengumuman mencari kerja. Tak kurang dari 100 lamaran kerja dia kirimkan dalam kurun setahun terakhir.
Baca Juga: Pencari Kerja Merapat! Ada Jobfair di Jakarta Juli-Agustus, Diikuti 200 Perusahaan
Termasuk bergabung di jaringan sosial Linkedin, yang menghubungkan para pencari kerja. Di jaringan ini, Tito menuliskan keahliannya. "Keahlian saya adalah negosiasi, komunikasi, membuat perencanaan, menyusun kontrak kerja sama, menyusun Peraturan Perusahaan, menyusun PKWT, SOP dan mengendalikan aktivitas bisnis secara profesional, jujur dan terbuka."
Namun sayang semua lamaran yang dia buat belum ada satu pun yang nyangkut.
Rupanya, banyak orang yang bernasib sama dengan dirinya. Hingga akhirnya, mereka yang senasib itu hanya bisa mengeluh menjurus ke frustrasi. Tak mau sekadar menampung keluhan, Tito pun kemudian mendirikan Old Job Seeker Indonesia (OJI), sebuah wadah saling bertukar info lowongan kerja bagi mereka yang sudah memasuki usia 35-50 tahun.
"Saya merasakan di usia yang sudah 50 tahun sudah dianggap tidak produktif. Dengan mendirikan OJI, mari kita saling menguatkan," ujarnya saat berbincang di program Special Report Kompas TV, Minggu (7/5/2023).
Sudah ribuan anggota yang tergabung dalam OJI. Anggota yang sudah mendapatkan pekerjaan diharapkan mau berbagi info yang dibutuhkan.
Pengamat ketenagakerjaan Timboel Siregar menjelaskan, apa yang dialami oleh Tito dan kawan-kawan adalah bentuk diskriminasi pekerjaan berdasarkan usia. Bila pemerintah tidak memerhatikan para pencari kerja usia tua ini, hal ini akan berdampak terhadap bonus demografi yang disebut-sebut memberikan keuntungan kepada sebuah bangsa hanya sekali saja.
Sebab, bila para pencari kerja usia tua namun masih produktif ini tidak diakomodasi, bisa lahir generasi sandwich. Yaitu ketika para pencari kerja usia tua itu kemudian membebankan kebutuhan hidupnya kepada anak-anaknya yang mulai bekerja.
"Kalau anak-anaknya ini kemudian tidak bekerja, maka kembali jatuh miskin," kata Timboel.
Apalagi data dari pemerintah menyebutkan bahwa selama wabah Covid-19 ada lebih dari 368 ribu pekerja yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Dari jumlah tersebut, sebagian besar tidak lagi diterima kerja setelah wabah melandai. Dan mereka yang kena PHK termasuk yang usianya dinilai tidak produktif alias tua.
Baca Juga: Pencari Kerja Wajib Tahu, Deretan Pekerjaan Bidang Teknologi Informasi yang Diburu
Menurut Timboel, pemerintah harus segera membuka pelatihan vokasional bagi para pencari kerja tua ini. "Pemerintah harus beri pelatihan vokasi yang bisa diakses oleh pekerja tua ini," katanya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.