JAKARTA, KOMPAS.TV- Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Solikin M. Juhro mengatakan, tekanan yang dialami rupiah saat ini bukan hal yang unik. Lantaran mata uang negara lainnya, baik negara maju ataupun berkembang, juga melemah terhadap dolar AS.
"Kalau dibandingkan negara emerging markets, bisa dibilang rupiah itu best performer. Indeks dolar itu sudah 115, rupiah melemah 8,7 persen terhadap dolar AS. (mata uang) India di atas 10 persen, Malaysia 12 persen, Thailand 13 persen," kata Solikin dalam program Kompas Bisnis KOMPAS TV, Jumat (28/10/2022).
"Di luar itu jauh lebih tertekan, misalnya Brasil, Argentina, Turki," tambahnya.
Indeks dolar adalah indeks yang mengukur nilai dolar terhadap enam mata uang utama dunia lainnya yakni Euro (EUR), Yen Jepang (JPY), Pound Inggris (GBP), Dolar Kanada (CAD), Krona Swedia (SEK), dan Franc Swiss (CHF).
Baca Juga: Ekonomi AS Diprediksi Melambat, Rupiah Menguat ke Level Rp15.553 Jelang Akhir Pekan
Meski hanya enam mata uang yang tercantum, proses pengukuran Indeks Dolar AS sebenarnya juga membandingkan Greenback dengan mata uang 24 negara (19 negara di antaranya tergabung dalam Zona Euro).
Bisa dibilang, Indeks Dolar AS dapat dijadikan patokan bagi performa kekuatan dolar AS secara umum.
Solikin menyatakan, BI sudah melakukan berbagai hal untuk menjaga nilai tukar rupiah. Di antaranya dengan menaikkan suku bunga acuan, intervensi di pasar spot dan pasar derivatif, serta intervensi di pasar sekunder Surat Berharga Negara (SBN).
Pelemahan nilai tukar rupiah, lanjutnya, hanyalah sebagian dampak dari ketidakpastian global saat ini yaitu akibat perang Rusia-Ukraina dan perang dagang Amerika-China yang belum tahu akan berlangsung sampai kapan.
Kedua hal itu akan menghambat rantai pasok global, sebut saja kelangkaan pasokan cip, krisis energi dan pangan.
Baca Juga: Liz Truss Mundur Saat Inflasi Inggris Tertinggi dalam 40 Tahun, Anak Kelaparan, Upah Pekerja Turun
"Perlambatan ekonomi global 2023 itu niscaya. Dari tadinya 3 persen jadi 2,6 persen. Perlambatan ekonomi global juga akan berdampak pada ekonomi emerging market, karena ada rangkaian perdagangan global," tutur Solikin.
"Laju inflasi global juga tinggi, angka-angkanya rata-rata di atas 9 persen. AS 8,2 persen, Eropa 9 persen, Brasil, Turki, Argentina jauh di atas itu," lanjutnya.
Ia menuturkan, Indonesia saat ini berada dalam moda bertahan atau survival mode. Lantaran sulit memprediksi apa yang akan terjadi ke depannya, termasuk hal-hal apa saja yang menjadi risiko untuk perekonomian.
Baca Juga: Utang Luar Negeri Indonesia Dihapus Oleh Empat Negara, Ini Konsekuansi yang Harus Ditanggung
Namun Indonesia bisa tetap bertahan karena punya strategi kunci yakni sinergi kebijakan dan mitigasi risiko yang baik.
"Menghadapi ketidakpastian ini enggak bisa kerja sendiri. Harus kerja sama dengan otoritas lainnya (Kementerian Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan). Karena kita enggak tahu sampai kapan perang terjadi, harga minyak akan seberapa tinggi," tandas Solikin.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.