JAKARTA, KOMPAS.TV - Pemerintah menunda kenaikan tarif ojek online, menjadi 30 Agustus mendatang. Salah satu alasan kenaikan, agar pengemudi ojol bisa semakin sejahtera. Namun menurut Ekonom Universitas Airlangga (Unair) Rumayya Batubara, kenaikan tarif ojol tidak selalu berhubungan dengan kesejahteraan driver.
Rumayya mencontohkan, ketika konsumen memilih moda transportasi lain saat tarif ojol tinggi, maka potensi pendapatan driver akan menurun. Soalnya, karakter pengguna ojol yang sangat sensitif terhadap harga.
Jadi ketika ada perubahan harga, mereka akan mencari alternatif moda transportasi lain, atau bahkan mengurangi mobilitasnya.
"Misalkan jika sebelumnya bisa mendapatkan 10 penumpang, dengan adanya kenaikan ini penumpangnya jadi turun jadi 7 atau bahkan hanya 5. Perlu diingat, jumlah driver tetap sama, tapi penumpang berkurang," kata Rumayya dalam keterangan tertulisnya, Kamis (18/8/2022).
Baca Juga: Kemenhub Tunda Kenaikan Tarif Ojek Online Jadi 28 Agustus, Dibagi Tiga Zona
Rumayya pun mengutip hasil riset lembaga Research Institute of Socio- Economic Development (RISED), yang menyebutkan lebih dari 50 persen konsumen pengguna ojol adalah masyarakat menengah bawah. Kemudian, konsumen memilih menggunakan ojol dikarenakan harganya yang terjangkau.
Jika kenaikan tarif ojol terlalu tinggi, hal itu bisa menjadikan ojol tidak terjangkau lagi oleh sebagian besar konsumen. Sehingga, konsumen akan memilih opsi transportasi lain, salah satunya kendaran pribadi, yang akan menimbulkan masalah lain seperti kemacetan lalu lintas.
"Ketika tarif ojol naik di tahun 2019, sebanyak 75 persen konsumen menolak kenaikan harga ojol. Persentase penolakan tersebut tergolong tinggi, meski kenaikan tarif pada saat itu tidak sebesar di tahun 2022 ini," kata Rumayya.
"Tahun ini kami memang belum melakukan studi terbaru, tapi kemungkinan besar akan ada lebih dari 75 persen konsumen yang menolak, karena kenaikan tarifnya jauh lebih tinggi," ujarnya.
Baca Juga: Harga Emas Antam Hari Ini 19 Agustus Turun Tipis, Berikut Daftarnya
Kenaikan tarif ojol yang tinggi juga akan menekan daya beli masyarakat dan turut menaikkan inflasi. Terlebih saat ini pemerintah tengah berupaya untuk menekan inflasi melalui program subsidi di berbagai sektor.
"Kita lihat saat ini inflasi sedang tinggi. Bahkan untuk inflasi pangan tertinggi sejak tahun 2015. Jika inflasi tinggi, maka daya beli konsumen tergerus," ucapnya.
Rumayya pun mengapresiasi penundaan kenaikan tarif oleh Kemenhub. Ia mengatakan, perpanjangan waktu tersebut dapat menjadi momentum bagi Kemenhub dalam menjaring masukan dari para pemangku kepentingan dalam menetapkan tarif baru ojol.
Baca Juga: Amerika Serikat Alami Kelangkaan Tenaga Kerja Gara-Gara Pandemi
"Penundaan pemberlakukan ini bagus walaupun tambahannya hanya 15 hari. Sehingga ada waktu lebih panjang, untuk menghitung lagi dampaknya, dan apakah ada solusi yang lebih baik. Jika memang harus naik, maka berapa besaran tarif yang sesuai," ujar Rumayya.
"Jadi perpanjangan waktu ini bisa digunakan untuk mencari masukan dan tambahan data agar bisa mengambil kebijakan publik lebih tepat, kami sangat dukung untuk itu," ujarnya.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.