JAKARTA, KOMPAS.TV- Presiden Joko Widodo mengakui besarnya pemasukan negara yang di dapat dari ekspor minyak sawit mentah atau CPO, serta produk turunannya.
Ia juga sadar, dengan dilarangnya ekspor bahan baku minyak goreng akan mengurangi pendapatan negara. Namun menurut Jokowi, memenuhi kebutuhan pokok rakyat, salah satunya minyak goreng, jauh lebih penting.
Hal itu ia sampaikan saat kembali menegaskan larangan ekspor komoditas itu pada Rabu (27/4/2022) malam tadi.
"Begitu kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi tentu saya akan mencabut larangan ekspor karena saya tahu negara perlu pajak, negara perlu devisa, negara perlu surplus neraca perdagangan, tapi memenuhi kebutuhan pokok rakyat adalah prioritas yang lebih penting," tutur Jokowi.
Baca Juga: Jokowi: Ironis Negara Produsen Minyak Sawit Terbesar Kesulitan Minyak Goreng, Tak akan Saya Biarkan
Sebagai informasi, ekspor CPO dan produk turunannya memberikan pemasukan kepada negara diantaranya berupa bea keluar dan dana pungutan ekspor Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Larangan ekspor juga akan membuat surplus neraca perdagangan Indonesia menjadi menipis. Pasalnya, minyak kelapa sawit merupakan komoditas ekspor unggulan Indonesia. Porsi nilai ekspor komoditas ini merupakan yang terbesar dibandingkan dengan komoditas lainnya, yakni mencapai 13,01 persen dari total ekspor nonmigas Indonesia pada 2021.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, kenaikan volume ekspor minyak sawit 2021 dibandingkan tahun 2020 hanya 0,6 persen. Sedangkan nilai ekspor 2021 mencapai 35 miliar dollar AS atau sekitar Rp500 triliun (asumsi kurs Rp14.300).
Baca Juga: Harga Anjlok, Petani Biarkan Buah Sawit Siap Panen Membusuk di Pohon
Nilai ekspor sawit tahun 2021 ini 52 persen lebih tinggi dari nilai ekspor tahun 2020 yang sebesar 22,9 miliar dollar AS. Sedangkan menurut data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor minyak sawit sebesar 32,8 miliar dollar AS.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai, larangan ekspor CPO dan produk turunannya akan merugikan negara dari sisi pemasukan untuk APBN.
Hitung-hitungannya, pendapatan negara bisa turun hingga 3 miliar dollar AS atau setara Rp43 triliun dengan asumsi kebijakan diberlakukan selama sebulan penuh.
"Angka itu setara 12 persen total ekspor non migas kita. Ini bisa mengganggu stabilitas rupiah juga karena devisanya terganggu. Jadi saya sarankan sebelum kamis dibatalkan saja," ujarnya kepada Kompas TV beberapa waktu lalu.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.