JAKARTA, KOMPAS.TV — Ekonom Senior Faisal Basri mengatakan penyebab terjadinya kelangkaan minyak goreng hingga berujung terendusnya dugaan korupsi antara Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan pihak pengusaha disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang salah.
Pernyataan itu disampaikan Faisal Basri guna merespons perintah Presiden Joko Widodo atau Jokowi kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mengusut tuntas siapa saja yang bermain dalam kasus minyak goreng.
Adapun menurut Faisal, salah satu kebijakan yang dinilai keliru yakni soal penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan yang cenderung lebih rendah daripada biaya produksi.
"Saya takut Pak Presiden kurang informasi. Mengapa perintahnya tidak jalan, mengapa (minyak goreng) masih langka. Padahal yang salah kebijakannya menetapkan HET Rp14 ribu untuk curah, ya (pengusaha) tidak ada yang mau dibeli Rp14 ribu itu. Mau dicari siapa yang salah, wong yang salah kebijakannya," kata Faisal Basri dalam program Satu Meja Kompas TV, Rabu (20/4/2022) malam.
Bahkan ia menyebut, penetapan 4 tersangka oleh Kejagung seolah hanya sekadar bukti bahwa aparat penegak hukum telah bekerja sesuai dengan instruksi Presiden Joko Widodo.
"Pak Kejagung pusing karena ditargetkan, maka carilah yang ini. Sekedar bukti sudah bekerja sesuai instruksi presiden," imbuhnya.
Baca Juga: Kejagung Didesak Periksa Mendag terkait Kasus Dugaan Mafia Minyak Goreng
Faisal Basri juga menjelaskan bahwa dalam persoalan kasus ekspor minyak goreng yang disebut Kejagung, hanyalah korupsi biasa. Ia tidak melihat adanya mafia dalam kasus minyak goreng ini.
Namun ia menyebut kasus ini terjadi karena disebabkan oleh dua prinsip dasar. Pertama, kebijakan dua harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang ditetapkan pemerintah.
Kedua, telah dibiarkan oleh pemerintah persaingan CPO ini sebagai produk pangan perut dan produk energi biodisel.
Dalam hal ini ia melihat, energi lebih dimenangkan. Oleh karena persoalan pangan dinomorduakan, Faisal menyebut akibatnya pengusaha ingin harga tinggi sementara konsumen ingin harga yang rendah.
"Dalam kasus ini saya tidak melihat adanya mafia, lebih disebabkan karena dua prinsip dasar. tidak terpenuhi yakni pemerintah menciptakan dua harga untuk CPO. Oleh karena itu, pengusaha ingin harga yang tinggi sementara konsumen ingin harga yang rendah," jelasnya.
Terkait dua harga CPO, Faisal menilai pemerintah lebih baik menerapkan pajak ekspor sehingga tidak otomatis harga luar negeri itu sama dengan luar negeri.
"Kita ingin setiap kebijakan pemerintah punya kuasa luar biasa. Jadi ekspor misalnya harganya 100, kemudian kita ingin di dalam negeri 70, maka kenakan saja pajak ekspor 30 persen. Tidak otomatis harga luar negeri itu sama dengan di dalam negeri," ungkapnya.
"Kalau mau 50 (harga beli importir), maka pajak ekspornya 50 persen. Jadi pemerintah punya kuasa, tapi tidak mau melaksanakan. Justru mengeluarkan DMO DPO padahal yang paling efektif adalah menerapkan pajak ekspor. Inilah yang harus diselesaikan akar masalahnya," tambahnya.
Sebagai informasi, pemerintah telah menetapkan harga eceran tertinggi minyak goreng curah naik dari Rp11.500 per liter menjadi Rp14.000 per liter.
Dari HET tersebut pemerintah memberikan subsidi kepada minyak goreng curah melalui dana BPDP-KS yang diambil dari pajak ekspor CPO.
Meski begitu harga minyak goreng curah masih lebih mahal dari HET yang ditetapkan pemerintah. Rata-rata pedagang menjual dengan harga lebih dari Rp20.000 per liter di pasaran.
Baca Juga: Jokowi Sebut Ada Permainan Dalam Kasus Kelangkaan Minyak Goreng
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.