JAKARTA, KOMPAS.TV – Kenaikan harga energi fosil saat ini dinilai bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk mendorong potensi energi baru terbarukan atau EBT.
"Salah satu masalah dalam pengembangan EBT di Indonesia adalah harganya lebih mahal ketimbang energi fosil. Meroketnya harga energi fosil harus dijadikan momentum mendorong potensi EBT," ujar Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi, Selasa (8/3/2022), seperti dilansir dari Antara.
Menurut Fahmy, berbagai upaya untuk mendorong pengembangan potensi energi bersih meliputi pembuatan undang-undang dan aturan yang diperlukan, infrastruktur, dan pemberian insentif fiskal bukan insentif tarif.
Berbagai upaya itu dibutuhkan untuk menciptakan iklim investasi energi bersih yang kondusif, sehingga menarik minat investor untuk mempercepat investasi di sektor energi baru terbarukan.
Pasalnya, pandemi Covid-19 ditambah ketegangan geopolitik antara Rusia dengan Ukraina membuat harga energi fosil, seperti batu bara, minyak mentah, dan gas alam menyentuh angka tertinggi.
Minyak mentah Brent yang menjadi patokan dunia sempat menyentuh angka 139 dolar AS per barel menyentuh level tertinggi sejak 2008 silam. Hal ini akibat respon dari rencana Amerika Serikat dan sekutunya yang ingin melarang impor minyak Rusia.
Baca Juga: Jokowi Senang Resmikan PLTA Poso dan Malea, Ingin Geser Energi Fosil ke Energi Hijau
Sementara itu, gas Eropa acuan Belanda mencapai rekor tertinggi dalam sejarah di harga 345 euro per megawatt jam. Kenaikan harga gas itu dipicu sanksi internasional untuk Rusia yang menimbulkan kekhawatiran pasar akan terhambatnya pasokan karena gas alam merupakan sumber energi penting di Eropa.
Fahmy menyebut, Indonesia memiliki sumber daya energi baru terbarukan yang melimpah dan beragam, tetapi belum memiliki teknologi untuk memaksimalkan potensi-potensi tersebut. "Pengembangan EBT harus menggandeng investor asing yang memiliki teknologi," ujarnya.
Adapun, harga komoditas batu bara saat ini masih bertahan di atas level 400 dolar AS per ton. Sanksi ekonomi terhadap Rusia berupa pembatasan akses ke pelabuhan-pelabuhan Eropa telah memicu serbuan perusahaan-perusahaan di Asia dan Eropa untuk mencari pemasok alternatif, seperti Australia.
Perang telah menciptakan krisis energi dunia dan memperburuk kekhawatiran pasar atas pasokan energi fosil. Posisi Indonesia sebagai negara importir terutama untuk minyak dan elpiji dapat menekan APBN.
Kementerian ESDM bahkan menyebutkan, setiap kenaikan satu dolar AS per barel berdampak kepada kenaikan subsidi elpiji sekitar Rp 1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp 49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp 2,65 triliun. Dalam postur APBN 2022, nilai subsidi BBM dan elpiji tiga kilogram mencapai Rp 77,5 triliun.
Baca Juga: Energi Baru Terbarukan Terus Dikembangkan, Indonesia Tak Akan Tinggalkan Industri Migas
Sumber : Kompas TV/Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.