BADUNG, KOMPAS.TV – Di tengah tren global yang terus mengembangkan energi baru terbarukan (EBT), pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan, tidak akan meninggalkan industri hulu minyak dan gas bumi.
"Industri hulu migas, tidak akan serta merta ditinggalkan karena industri ini juga menjadi salah satu pilar ekonomi Indonesia," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam IOG 2021 di Badung, Bali, Senin (29/11/2021), dilansir dari Antara.
Ia menjelaskan, Indonesia juga sedang mengusahakan peningkatan pengembangan dan penggunaan EBT. Pasalnya, Indonesia merupakan salah satu negara pendukung karbon rendah yang berkomitmen untuk mencapai netralitas karbon pada 2060. Termasuk melalui sejumlah kebijakan untuk mengusahakan lompatan perubahan.
Pada masa transisi energi ini ada beberapa hal yang memang harus diperhatikan, antara lain masalah reability energi baru dan terbarukan yang memerlukan teknologi untuk menjaga intermittency.
Baca Juga: SKK Migas Siapkan Langkah Hadapi La Nina agar Produksi dan Lifting Migas Tak Terganggu
Menurut Arifin, peranan industri hulu migas yang rendah karbon diharapkan bisa menjadi energi pada masa transisi ini. Industri hulu migas yang rendah karbon merupakan visi dari industri fosil dalam era transisi ke depan. Selain itu, juga memberikan efek berganda yang telah dirasakan sampai ke sektor-sektor pendukung.
Universitas Indonesia bahkan merilis hasil studi dampak kegiatan usaha hulu migas pada 2003-2017 yang menunjukkan bahwa efek berganda industri hulu migas terus meningkat.
"Kita melihat penggunaan kapasitas nasional di sektor hulu migas cukup besar, baik dari sisi persentase maupun nilainya. Sebagai contoh, pada tahun 2020 penggunaan kapasitas nasional sebesar 57 persen dengan nilai pengadaan sekitar 2,54 miliar dolar AS," terangnya.
Adapun, pemerintah beralasan menjadikan gas alam sebagai pendukung transisi energi karena mudah didistribusikan dan disimpan, serta rendah karbon.
Berdasarkan data The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), badan PBB untuk menilai ilmu terkait perubahan iklim, gas alam hanya menghasilkan 469 gram karbon dioksida per kilowatt jam (kWh).
Angka emisi itu lebih rendah dibandingkan batu bara yang mencapai 1.001 gram karbon dioksida per kWh dan minyak bumi sebesar 840 gram karbon dioksida per kWh
Industri hulu migas yang pada mulanya didesain untuk menghasilkan manfaat berupa penerimaan negara secara maksimal, kemudian dikembangkan menjadi salah satu mesin penggerak kegiatan penunjangnya, seperti perbankan, perhotelan dan sebagainya.
Berdasarkan perhitungan umum, Arifin menyebutkan, setiap investasi sebesar satu dolar AS menghasilkan dampak senilai 1,6 dolar AS yang dapat dinikmati oleh industri penunjangnya. Itu sebabnya, industri hulu migas terutama gas alam akan menjadi penyokong transisi energi di Indonesia.
Pada intinya, pemerintah Indonesia akan mengembangkan gas untuk menggantikan energi batu bara yang lebih banyak menghasilkan karbon dan meningkatkan konsumsi gas alam secara signifikan di masa depan.
"Lapangan-lapangan migas tetap perlu dikembangkan. Potensi yang ada juga harus digali untuk menjamin penyediaan energi di masa depan. Bahkan potensi lapangan-lapangan migas non konvensional juga harus digali, demi pemenuhan kebutuhan masa depan," tuturnya.
Menurut perhitungan Kementerian ESDM, cadangan gas alam di Indonesia mencapai 62,4 triliun kaki kubik dengan cadangan terbukti sebanyak 43,6 triliun kaki kubik.
Baca Juga: EBT Terus Tumbuh, Gas Bumi Tetap Diprediksi Jadi Sumber Utama Energi Nasional hingga 2050
Sumber : Kompas TV/Antara
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.