JAKARTA, KOMPAS.TV – Rencana pemerintah menerapkan tarif emisi karbon dinilai masih belum matang. Besaran tarif pajak karbon yang dicanangkan dinilai terlalu rendah untuk mencapai tujuan pengurangan emisi karbon oleh industri.
Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, rancangan penerapan tarif emisi karbon pada RUU KUP masih belum fokus, seolah sekadar cantolan dari semua rancangan perpajakan nasional.
Baik mekanisme penerapan tarif maupun jenis produk industri yang akan dikenakan tarif belum ada dalam rancangan undang-undang tersebut. Padahal, penjelasan tersebut penting bagi kesiapan industri nasional.
Terlalu murah
Pengenaan tarif yang hanya sebesar Rp75 per kilogram CO2e, menurut Fabby, masih terlalu rendah untuk mendorong perubahan perilaku pelaku industri dan dunia usaha menuju ekonomi hijau.
“Idealnya, besaran tarif harus setara dengan perhitungan dampak sosial yang diakibatkan terlepasnya setiap kilogram emisi karbon ke udara,” ujarnya, Rabu (15/9/2021), dilansir dari Kompas.id.
Sebagai informasi, Bank Dunia merekomendasikan tarif pajak karbon untuk negara berkembang berkisar 35 dollar AS-100 dollar AS per ton atau sekitar Rp507.500-Rp1,4 juta per ton.
Sedangkan Pemerintah Indonesia menetapkan rencana tarif pajak karbon minimal Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen, yang artinya hanya 5-6 dollar AS per ton.
Baca Juga: Bappenas: Pemungutan Pajak Karbon Harus Akuntabel dan Transparan
Rencana pengenaan pajak karbon tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
”Rencana pengenaan tarif pajak karbon yang tertuang dalam RUU KUP terlalu rendah dan tidak akan efektif untuk mengubah pola kebiasaan industri manufaktur untuk mengurangi emisi karbon,” tuturnya.
Ia berharap pemerintah dapat segera membenahi rancangan payung hukum terkait dengan penerapan tarif pajak emisi karbon sembari memberikan waktu dua hingga tiga tahun bagi pelaku industri dan dunia usaha untuk bersiap-siap.
Waktu tersebut paling ideal bagi dunia usaha untuk mempersiapkan diri beralih ke energi terbarukan.
Fabby khawatir, jika implementasi pajak karbon terlalu cepat, akan menjadi bumerang bagi upaya pemerintah dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional.
”Jangan sampai karena aturan yang tidak jelas, masyarakat malah menjadi pihak terakhir yang harus menanggung beban pajak karbon tersebut,” kata Fabby.
Baca Juga: Pemerintah Tengah Mengevaluasi Pajak Karbon untuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca
Sumber : Kompas TV/Kompas.id
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.