JAKARTA, KOMPAS.TV – Saat ini masih ada kekosongan dalam hal verifikasi informasi kekayaan dan kejujuran pejabat dalam melaporkan harta kekayaan.
Pendapat itu disampaikan oleh Lalola Easter, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam dialog Sapa Indonesia malam, Kompas TV, Senin (2/3/2023) tentang pejabat atau keluarganya yang pamer harta kekayaan.
Lola mengatakan, tidak menampilkan gaya hidup mewah bisa saja merupakan jebakan agar kehidupan dan harta kekayaan pejabat tidak menjadi sorotan.
“Sebetulnya ini seperti jebakan ya, kalau misal kita mengingat di tahun 2014, ada kasus mantan Ketua SKK Migas, ketika itu Pak Rudi Rubiandini, dia jadi sorotan karena gaya hidupnya yang sederhana, tapi kemudian terjerat kasus korupsi,” urainya.
Baca Juga: Istrinya Viral Pamer Harta, Sekda Riau Sebelumnya Keluarkan Imbauan soal Gaya Hidup Mewah
Hal itu, kata dia, menunjukkan bahwa tidak menampilkan gaya hidup yang berlebihan juga bisa jadi jebakan, karena kita tidak pernah tahu seperti apa di balik itu.
Meski demikian, jika memamerkan harta kekayaan dianggap sebagai pelanggaran etik bagi pejabat maupun aparatur sipil negara (ASN), hal itu tentu saja perlu ditegakkan.
Tapi, di sisi lain, kata Lola, harus diakui masih adanya kekosongan tentang verifikassi hata kekayaan pejabat.
“Tapi di sisi lain harus kita akui massh ada kekosongan soal verifikasi informasi kekayaannya dan juga terkait dengan kejujurannya itu sendiri dlam melaporkan harta kekayaan.”
“Kalau kita merefleksikannya ke peristiwa RAT, yang di Kemenkeu itu, itu kan ada gap,” lanjutnya.
Di situ, kata Lola, ada ketidaksinkronan, yakni dugaan bahwa ada perolehan harta yang tidak sah dari catatan LHKPN-nya, karena tidak sesuai dengan profil pendapatannya sebagai seorang pegawai di Kementerian Keuangan.
“Tapi ada gap di situ, tidak ada peraturan hukum, terutama kalau berkaitan dengan penegakan hukum pidananya, yang bisa menjerat hal tersebut.”
Baca Juga: Istri Pamer Harta, Memang Berapa Gaji & Tunjangan Pejabat Kemensetneg Esha Rahmansyah?
Penegakan dari sisi kode etik, lanjut Lola, mungkin bisa dilakukan, tapi tentu saja sifatnya terbatas.
Jika berbicara tentang pemberian efek jera, terlebih jika ada dimensi soal dugaan tindak pidana korupsi, lanjut dia, yang jadi fokus itu adalah bagaimana memaksimalkan perampasan harta yang diduga terkait tindak pidana.
“Gap-nya masih ada di situ, sehingga memang harus ada semacam tahapan untuk memaksimalisasi agar ke depannya poin soal perolehan harta secara tidak sah, yang kemudian juga tentu kalau terkait dengan tindak pidana pencucian uang, penyamaran hartanya.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.