Selama masa kejayaan Kerajaan Inggris, ribuan perempuan dari negara-negara Asia, termasuk India dan Hindia Belanda (kini Indonesia), dibawa ke London untuk menjadi pelayan dan pengasuh anak. Banyak yang kemudian ditelantarkan begitu saja. Kini, rumah yang menampung mereka diberikan plakat biru sebagai tanda bahwa lokasi tersebut bersejarah.
Perempuan-perempuan dari Asia itu dipanggil dengan sebutan 'ayah' dan 'amah'. Ayah, adalah panggilan untuk para pengasuh dari India, sedangkan amah untuk yang berasal dari Indo-China.
Baca juga:
Rumah yang menampung mereka akan diberikan plakat biru. Ini adalah sebuah pengakuan terhadap tempat yang dinilai memiliki sejarah penting. Plakat tersebut diberikan oleh badan amal Inggris, English Heritage.
Plakat biru untuk Rumah Ayah, yang beralamat di Jalan King Edward 26, Hackney, London Timur, adalah hasil kampanye yang dimulai oleh Farhanah Mamoojee.
Mamoojee, 31 tahun, adalah perempuan keturunan India dan mengaku pertama kali mendengar tentang Rumah Ayah dari film dokumenter BBC.
Bersama para sejarawan yang telah melakukan riset panjang soal peranan dan kontribusi para pelayan dari Asia tersebut, Mamoojee berharap pemberian plakat dapat sedikit memberi pengakuan dan sorotan untuk para perempuan yang terlupakan ini.
Kebanyakan perempuan ini berasal dari negara-negara seperti India, China, Hong Kong, Ceylon Inggris (kini Sri Lanka), Burma (kini Myanmar), Malaysia, dan Jawa.
"Ayah dan amah pada dasarnya adalah pekerja rumah tangga dan tulang punggung bagi keluarga-keluarga Inggris di negara koloninya, India.
"Mereka mengasuh anak-anak, menghibur mereka, menceritakan dongeng untuk mereka, dan meninabobokan mereka," kata Rozina Visram, sejarawan dan penulis buku Asians in Britain: 400 Years of History.
Ketika keluarga-keluarga ini kembali ke Inggris, mereka kerap kali membawa serta para pelayan ini. Sebagian ayah hanya diminta menemani selama perjalanan panjang dengan kapal, kata Visram, sementara sebagian lainnya kemudian dipekerjakan di Inggris selama beberapa tahun.
Baca juga:
"Para pengasuh ini biasanya diberikan tiket pulang kembali ke negaranya, yang dibayarkan oleh keluarga yang mempekerjakan mereka," kata dia.
Tapi tidak semua perempuan ini seberuntung itu. Banyak yang kemudian ditelantarkan begitu saja oleh para majikannya tanpa bayaran atau tiket pulang. Beberapa terpaksa tetap tinggal di Inggris karena tidak ada keluarga yang hendak berlayar ke Asia yang bisa mereka ikuti.
"Para ayah ini kemudian mau tidak mau harus mengupayakan kehidupan sendiri di sini," ujar Florian Stadler, pengajar literatur dan migrasi di University of Bristol yang bekerja bersama Vikram untuk tema ini.
Stadler berkata, para perempuan ini biasanya mengandalkan iklan di koran lokal, meminta bantuan supaya mereka bisa pulang ke negaranya. Sambil menunggu, kebanyakan tinggal di rumah sewa kumuh yang dipatok dengan harga terlalu tinggi.
"Dan ketika uang mereka sudah habis, mereka diusir dari sana. Banyak yang kemudian harus menjadi pengemis di jalanan supaya bisa pulang kembali ke India."
Menurut Proyek Making Britain dari Open University, Rumah Ayah "diperkirakan berdiri pada 1825 di Aldgate" oleh seorang perempuan bernama Elizabeth Rogers.
Setelah kematiannya (tidak jelas pada tahun berapa), rumah ini dikelola oleh pasangan suami-istri yang mengiklankan bangunan ini sebagai rumah singgah untuk para ayah dalam perjalanan.
Mereka mengelola rumah ini seperti agen karyawan, dan keluarga-keluarga dapat menghubungi mereka untuk mendapatkan pengasuh.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.