PADANG, KOMPAS.TV - Pengumuman nama Nusantara untuk ibu kota negara (IKN) baru oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Kepala Bappenas Suharso Monoarfa ternyata sudah ada yang memprediksi sejak awal.
Orang di balik prediksi itu adalah seorang sastrawan muda asal Padang, Sumatera Barat, yang bernama JS Khairen.
Lebih jelasnya, Khairen menuangkan prediksi terkait pemilihan nama Nusantara tersebut melalui buku kumpulan cerita pendek (cerpen) yang berjudul Rinduku Sederas Hujan Sore Itu.
Dalam buku tersebut, ada satu cerpen Khairen yang bergenre distopian, dengan judul Nusantara Top Secret Project: Rongga Waktu.
Baca Juga: Nusantara sebagai Nama Bangsa Tersingkir Sejak Zaman Pergerakan, Dinilai Jawasentris
"Cerpen itu saya buat tahun 2014 lalu, dan di sana saya buat ibu kota negara bernama Nusantara," ungkap Khairen kepada Kompas.com, Selasa (18/1/2022).
Bahkan, ibu kota dengan nama Nusantara dalam cerita Khairen itu juga mengambil latar tempat di Pulau Kalimantan.
Hanya saja, yang membedakannya dengan calon IKN baru di Indonesia adalah setting waktunya pada 2382.
Khairen pun menerangkan, prediksi ibu kota negara Nusantara dalam karyanya itu bukan sekadar tebak-tebakan, namun telah melalui riset sejarah sebelumnya.
"Saya mempelajari sejarah Indonesia, sehingga terpikir memprediksi nama ibu kota negara kita, Nusantara," jelas sastrawan muda berusia 30 tahun tersebut.
Baca Juga: Cerita di Balik Pilihan Nama Ibu Kota Baru: Dari "Nusantara Jaya" sampai "Sambalterongpedas"
Selain buku tadi, Khairen juga memiliki beberapa karya lain yang secara gamblang menyebutkan ibu kota negara bernama Nusantara.
Contohnya, buku kumpulan cerpen berjudul Hal yang Tak Kau Bawa Pergi Saat Meninggalkanku. Tepatnya, dalam cerpen dengan judul Bertemu Sekali Lagi.
Oleh sebab itu, ketika pemerintah mengumumkan nama Nusantara untuk IKN baru, banyak penggemar karya Khairen yang menyadari kebetulan tersebut.
"Di medsos (media sosial, red), followers saya pada bercanda-canda. (Mereka) bilang, saya itu dukun, cenayang, dan lainnya," ujar pria bergelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) itu.
"Padahal, saya lebih senang kalau dibilang karena kekuatan riset, dan mungkin karena sedikit rajin baca buku sejarah, jurnal, dengar nasehat negarawan dan ilmuan," tandasnya.
Sumber : Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.