Boleh jadi, bangsa ini sedang kebingungan bagaimana memberantas korupsi.
Yang muncul adalah langkah dekonstruksi yang membingungkan kita semua, saya dan barangkali generasi milenial.
Kita semua mungkin bingung dengan kebijakan atau minimal pertimbangan atau pernyataan para elite negeri.
Sejak zaman VOC, korupsi sudah terlacak di republik ini. Praktik korupsi sudah terjadi sejak zaman itu.
Mode upeti yang terjadi pada zaman kolonial, masih saja terjadi hingga kini. Dan VOC pun runtuh keropos karena korupsi. Dan, korupsi menjadi penyakit endemi bangsa ini.
Entah karena menganut teori dekonstruksi atau karena memang sesat pikir, kita kadang tertawa geli, atau kita sendiri yang memang gagal paham dengan jalan baru pemberantasan korupsi negeri ini.
Coba simak pertimbangan meringankan majelis hakim saat menghukum bekas menteri sosial Juliari Batubara.
Menurut majelis hakim, terdakwa Juliari Baturbara telah menerima hujatan, kecaman dari warganet dan dia menderita karenanya.
Hujatan itu datang sebelum putusan dijatuhkan. Karena itu hukuman Juliari Batubara harus diringankan, meskipun vonis yang dijatuhkan lebih berat dari tuntutan jaksa.
Pertimbangan majelis itu mau menyampaikan pesan apa? Kalau mau dihukum berat, warganet jangan hujat terdakwa korupsi.
Hujatan warganet sudah dianggap sebagai hukuman tersendiri. Tapi mungkin pujilah koruptor, kasihanilah koruptor. Dengan cara itu, hukuman koruptor akan diperberat. Ada kesenjangan soal rasa adil di sana.
Coba lagi tengok kebijakan KPK Pimpinan Firli. Alih-alih membela pegawai KPK yang telah bekerja keras mengungkap korupsi, tapi malah mengangkat terpidana kasus korupsi sebagai penyuluh anti korupsi atau pemberi kesaksian untuk mencegah korupsi.
Boleh jadi, kita semua belum paham atau gagal paham. Ketika ada tren vonis korupsi yang kian rendah, belum ditambah remisi, terpidana korupsi diangkat sebagai penyuluh antikorupsi atau diangkat sebagai komisaris.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.