Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir: Berkurban Menunaikan Kebajikan dan Ketakwaan
Beranda islami | 17 Juni 2024, 08:57 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir memberikan pesan Iduladha 10 Dzulhijjah 1445 bertepatan dengan 17 Juni 2024. Seperti termuat dalam laman muhammadiyah.or.id, dikutip Senin (17/6/2024), Haedar Nashir mengajak segenap Muslim makin menjadi insan yang shaleh, yang mau berkorban dalam menunaikan kebajikan dan ketakwaan.
"Seraya dengan itu insan beriman harus berani menjauhi yang buruk dan mungkar agar kehidupan dilimpahi berkah Allah. Hidup di dunia ini sejatinya fana yang harus diisi dengan iman, ilmu, dan amal saleh yang membawa keselamatan di akhirat kelak nan abadi," katanya.
Berikut kutipan lengkapnya:
Hari ini segenap kaum Muslimin di seluruh negeri melaksanakan ibadah Idul Adha. Idul Adha adalah Hari Raya Penyembelihan Hewan Qurban. Selain menjalankan shalat Idul Adha, setiap muslim yang berkemampuan diharuskan menyembelih hewan qurban pada hari nahar tanggal 10 atau hari tasyrik tanggal 11,12 dan 13 bulan Dzulhijjah. Daging qurban itu dibagikan kepada yang memerlukan dan sebagian dibolehkan untuk diikonsumsi sendiri.
Baca Juga: Hardiknas 2024, Ketum Muhammadiyah Haedar Nashir Soroti Tantangan Besar Pendidikan Indonesia
Demikianlah sunnah Nabi sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Qurthubi diterima dari Ali bin Abu Thalib dan Muhammad bin Ka’ab. Pada hadis lain Nabi bersabda, yang artinya “Kami berqurban bersama Nabi SAW di Hudaibiyah, satu unta untuk tujuh orang, satu sapi untuk tujuh orang.“ (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi).
Kata qurban berasal dari bahasa Arab “Qoroba-Yaqrobu-Qurbanan”, artinya sesuatu yang dekat atau mendekatkan, yakni dekat dan mendekatkan diri kepada Allah yang memerintahkan ibadah ini. Qurban sering disebut udhhiyah atau dhahiyyah artinya hewan sembelihan, fisiknya hewan yang disembelih, tetapi hakikatnya ialah pengorbanan dan pengabdian diri sepenuh hati kepada Ilahi Rabbi.
Nabi Ibrahim dengan dukungan istrinya Siti Hajar dan kerelaan putra tercintanya Ismail sungguh bertaruh nyawa. Hanya lewat sebuah mimpi Nabi Kekasih Allah itu berani mengorbankan putra tercintanya Ismail. Sementara Ismail dengan tulus bersedia memenuhi perintah Allah lewat ayahnya yang beresiko tinggi itu.
Berikut dialog antara Ibrahim dan Ismail: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat di dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu’. Ismail menjawab:
يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ
Artinya “Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapati aku termasuk orang yang sabar’.” (QS Ash-Shaffat: 102).
Ismail memang tidak jadi dikorbankan dan atas perintah Allah diganti dengan seekor hewan. Ibrahim, Ismail bersama ibunda Siti Hajar lulus ujian Tuhan, mengorbankan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya demi memenuhi perintah Tuhan bagi kepentingan orang banyak. Itulah puncak tertinggi ruhaniah dari keluarga Ibrahim, yakni jiwa berkorban. Jiwa tulus mengabdi kepada Tuhan dan berbuat kebajikan utama bagi kehidupan semesta!
Pengorbanan Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail itu sungguh revolusioner. Bagaimana Nabi Ibrahim dan Siti Hajar rela putra tercintanya harus disembelih (menjadi objek korban) atas perintah Tuhan. Ismail nan belia pun pasrah sarat ketaatan. Padahal perintah korban itu diperoleh Ibrahim hanya lewat mimpi. Meski penyembelihan itu digantikan seekor hewan, di hadapan Tuhan ketiganya lulus sebagai insan bertaqwa yang memiliki jiwa berkorban tinggi. Ketiganya sebagai role-model atau uswah hasanah, selaku insan profetik yang rela berkorban untuk kepentingan orang banyak. Ketiganya memberi contoh bagaimana bebas dari belenggu diri dan duniawi untuk menjadi insan yang memberi kemanfaat dan kebajikan terbaik bagi sesama dan dunia semesta.
Baca Juga: Din Syamsuddin Sebut Pemberian Izin Tambang "Secara Cuma-Cuma" ke NU-Muhammadiyah Berpotensi Jebakan
Hakikat Berkurban
Idul adha dengan ritual khusus penyembelihan hewan kurban merupakan proses ibadah membentuk diri sebagai insan bertaqwa yang memiliki jiwa berkorban yang khariq al-‘adat atau di luar kelaziman. Allah berfirman
لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُحْسِنِينَ
Artinya, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-Hajj: 37).
Karenanya jangan merasa berat untuk berqurban hanya seekor hewan bagi yang berkemampuan. Kuatkan diri untuk merasa wajib berqurban. Dalam satu hadis Nabi bersabda yang artinya: “Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat Ied kami.” (HR. Ahmad dan Ibn Majah). Nabi Ibrahim dan Siti Hajar bahkan rela mengorbankan putra tercintanya Ismail, yang diikuti oleh keikhlasan Ismail yang masih belia, demi menaati perintah Allah dan merengkuh ridhanya. Meskipun akhirnya kurban nyawa itu tidak terjadi, namun keluarga Nabiyullah itu teruji keikhlasan, ketaatan, dan ketaqwaannyan kepada Sang Khaliq.
Sementara itu mungkin di antara sebagian kita masih merasa sayang untuk berkurban hanya seekor hewan, sebagaimana berkurban harta kekayaan lainnya, karena terlalu mencintai harta dan dunia melampaui takaran. Semoga kita kaum muslimin yang menunaikan shalat Idul Adha saat ini terhindar dari sikap demikian. Bagi yang kebetulan belum sempat berniat, masih terbuka waktu setelah kembali dari shalat ini untuk menunaikan ibadah qurban. Bila satu ekor hewa kurban masih terasa berat dan tidak biss memaksakan diri, lantas apa lagi yang mau dijadikan bekal bagi hidup kita di akhirat kelak?
Nabi bersabda:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Artinya: Ketika seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali 3 (perkara), yakni sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang berdoa untuknya.
Sebanyak apapun harta, kekuasaan, dan segala kekayaan di dunia sungguh kehilangan makna dan faedah manakala ditumpuk tanpa dijadikan amal shaleh. Ketika memghadap Allah di Hari Akhirat, apa yang hendak disetorkan dan menjadikan modal kita masuk surga? Karenanya setiap muslim jadilah hamba-hamba kekasih Allah yang rela berkorban untuk kebaikan hidup orang banyak agar hidup ini bermakna utama. Dasar dan pusat seluruh ibadah itu ialah pengabdian total kepada Allah yang berbasis tauhid. Mengesakan Tuhan yang membawa dampak profetik pada seluruh kehidupan setiap insan muslim yang menjalankannya. Agar manusia hidup tidak sekadar hidup sebagaimana habitat hewan dan tumbuhan. Namun hidup yang memiliki fondasi dan orientasi nilai yang luhur dan bermakna.
Hidup hewan dan tumbuhan meski sama-sama berfaedah, mereka hanya mengikuti sunatullah lahir dan mati. Sedangkan manusia diberi tugas khusus yang bermakna sekaligus berfaedah yakni beribadah ( QS Adz-Dzariyat: 56) dan menjalankan kekhalifahan di muka bumi (QS Al-Baqarah: 30; Hud: 60). Tujuannya agar hidup manusia selamat di dunia dan akhirat (QS Al-Baqarah: 201) untuk meraih ridla dan karunia Allah (QS Al-Fath: 29). Bukan hidup sekadar hidup untuk kemudian mati tanpa arti.
Jika manusia sekadar hidup untuk memenuhi kepentingan inderawi seperti makan, minum, hasrat biologis, dan hal-hal duniawi semata, maka derajat kehidupannya belum memenuhi syarat sebagai insan “fi ahsan at-taqwim”. Menjadi manusia terbaik di hadapan Tuhan. Karenanya idul adha dalam ritual penyembelihan hewan korban, sejatinya merupakan proses dekonstruksi ruhaniah secara total agar setiap muslim keluar dari belenggu hasrat-hasrat primitif menuju martabat insan mulia!
Mari kita terus bermunajat kepada Allah agar pasca ‘Idul Adha segenap Muslim makin menjadi insan yang shaleh, yang mau berkorban dalam menunaikan kebajikan dan ketaqwaan. Seraya dengan itu insan beriman harus berani menjauhi yang buruk dan munkar agar kehidupan dilimpahi berkah Allah. Hidup di dunia ini sejatinya fana yang harus diisi dengan iman, ilmu, dan amal shaleh yang membawa keselamatan di akhirat kelak nan abadi.
Marilah kita terus menanam benih-benih kebaikan dalam hidup yang tidak terlalu lama ini, sehingga ketika menghadap Allah sudah berbekal amal shaleh dan menutup lembaran hidup ini dengan husnul khatimah. Kita tidak tahu kapan Allah mengambil ajal kita, karena hidup dan mati setiap insan sepenuhnya di tangan Allah. Jangan menunda-nuda waktu untuk berbuat kebaikan termasuk dalam berqurban, karena kita sungguh tidak tahu ambang batas hidup ini. Jadikan kehidupan ini penuh arti dengan fondasi iman, Islam, dan ihsan yang bermuara taqwa guna meraih kebahagiaan di dunia akhirat dengan meraih surga jannatun na’im dalam rengkuhan ridha dan karunia Allah Yang Maha Rahman dan Rahim. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.
Penulis : Iman Firdaus Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV