Ngaji Senthir Malam 21 Ramadan di Boyolali, Cara Mengingat Perjuangan Para Pendahulu
Beranda islami | 1 April 2024, 07:10 WIBBOYOLALI, KOMPAS.TV – Azan Isya beberapa belas menit lalu telah usai berkumandang, ratusan santri dan santriwati Pondok Pesantren Nurul Hidayah Almubarokah baru saja selesai menunaikan ibadah salat Isya.
Satu per satu mereka berjalan dan berkumpul di halaman madrasah. Sebagian mereka menggenggam lampu minyak yang belum menyala, sedangkan tangan satunya mendekapkan Alquran ke dada mereka.
Tidak jauh dari madrasah, tepatnya di sebidang tanah lapang berukuran sedang, sejumlah santri lain sudah menyiapkan meja dan tikar serta peralatan pengeras suara.
Sejumlah meja berukuran kecil juga tertata rapi di tepi lapangan. Sepintas tidak terlalu kentara bahwa akan ada gelaran acara di tempat itu.
Malam itu, Minggu (31/3/2024) bertepatan dengan tanggal 20 Ramadan 1445 Hijriyah, atau dikenal dengan malam tanggal 21 Ramadan, atau memasuki 10 hari terakhir Bulan Suci Ramadan.
Sebagian umat Musim meyakini bahwa malam Lailatul Qadar akan hadir pada malam-malam tanggal ganjil di 10 hari akhir Bulan Ramadan.
Pengelola Pondok Pesantren Nurul Hidayah Almubarokah, Andong, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, menggelar kegiatan khusus pada malam tersebut, yakni ngaji senthir atau mengaji dengan penerangan dari lampu minyak.
Senthir sendiri berarti lampu minyak tanah dengan sumbu, yang dulu menjadi salah satu sumber penerangan.
Tak hanya menggunakan senthir, para santri dan santriwati serta pengasuh pondok menggunakan obor bambu dalam kegiatan ngaji senthir.
Beberapa menit setelah seluruh santri berkumpul di halaman madrasah, satu per satu obor dan senthir tersebut dinyalakan.
Santri yang obornya belum menyala kemudian membakar sumbu obor dengan cara menempelkan ke obor santri lain yang telah menyala.
Asap tipis dari nyala obor mengepul dan meliuk tertiup angin malam yang terkadang bertiup cukup kencang dan memadamkan api beberapa obor serta senthir.
Setelah semua siap, ratusan santri dan pengasuh pondok pesantren pun berbaris menuju tanah lapang tempat mereka akan mengaji bersama menyambut malam selikur atau malam 21.
Mengingat Perjuangan Pendahulu
Setibanya mereka di lapangan, para santri segera menuju tempat masing-masing. Santriwati mengaji di sisi kiri lapangan dan santri putra di sisi kanan. Sementara pengasuh pondok pesantren menempati meja yang disediakan di sisi depan.
Baca Juga: Bulan Ramadan, Yuk Isi Waktu Luang dengan Belajar Seni Melukis Kaligrafi!
Suara pengasuh pondok terdengar jelas dari pengeras suara yang terpasang. Ia memimpin para santri membaca kitab suci Alquran.
Para santri dengan khusyuk membaca Alquran yang ada di tangan masing-masing, dengan penerangan obor dan lampu senthir.
Beberapa santri terpaksa menyalakan kembali senthir yang mereka bawa saat angin certiup cukup kencang dan memadamkan pelita.
Beberapa santri terlihat bekerja sama menjaga agar lampu minyak mereka tidak padam, mereka mencoba melindungi api dengan telapak tangannya agar tak terkena tiupan angin.
Seusai kegiatan, seorang pengurus sekaligus pengasuh di Pondok Pesantren Nurul Hidayah Almubarokah, Muhammad Fathan Syakifuddin, menjelaskan pelaksanaan kegiatan ngaji senthir.
Penggunaan obor atau senthir tersebut, kata dia, sebagai pengingat perjagan para pendahulu dalam mempelajari Alquran.
“Obor atau oncor, supaya jadi pengingat bahwasanya pada zaman dahulu para nenek moyang kita, para pendahulu kita itu ketika membaca Alquran seperti itu, membawa oncor,” ucapnya.
Dengan mengingat perjuangan para pendahulu yang tidak mudah dalam mempelajari Alquran, diharapkan para santri akan semakin bersemangat dalam menuntut ilmu.
“Bagaimana rasanya biar anak-anak, para santri itu tahu, bagaimana rasanya jerih payah untuk mengaji, untuk membaca kalam-kalam Allah, bagaimana sulitnya.”
“Jadi supaya anak-anak bisa berpikir, muhasabah diri bahwasanya sulitnya membaca Alquran,” tambahnya.
Terlebih pada masa sekarang, semua serba mudah. Para santri pun semakin dimudahkan dalam menuntut ilmu dengan beragam fasilitas dan teknologi yang ada.
Kegiatan ngaji senthir tersebut juga diharapkan menambah rasa syukur para santri dan menyadarkan bahwa pada zaman dulu semuanya tidak semudah saat ini.
Baca Juga: Kisah Ipda Mustaqim, Polisi di Boyolali Jadi Guru Ngaji Lansia Usai Bertugas
“Dalam situasi saat ini kita semua sudah difasilitasi berbagai fasilitas, bagaimana kia bisa membaca Alquran. Tapi pada zaman dulu sangat suit sekali untuk membaca Alquran tetapi semangatnya sangat luar biasa.”
“Petikan mutiara yang bisa kita ambil adalah supaya santri bisa tahu jerih payah para pendahulu dalam membaca Aquran atau mencari ilmu yang diridhai Allah SWT,” ucapnya menegaskan.
Mengenai alasan pemilihan lapangan sebagai lokasi kegiatan dan bukan di dalam masjid adalah untuk semakin mendekatkan santri dengan alam sekaligus merasakan kesuitan para pendahulu.
Di zaman dulu, kata dia, tidak ada tempat yang nyaman untuk mempelajari Alquran, para penimba ilmu, kata dia tak jarang menyempatkan waktu mengaji di tempat terbuka atau luar ruangan.
“Di lapangan pun para pendahulu bisa menyempatkan waktu untuk bermuajah kepada Allah dalam membaca Allquran dengan cara sesederhana itu yaitu menggunakan obor.”
Mengharap Malam Lailatul Qadar
Kegiatan ngaji senthir yang dilaksaakan malam itu merupakan kali keempat. Ia menyebut ngaji senthir telah menjadi kegiatan rutin tahunan di pondok pesantren tersebut.
Tahun ini peserta ngaji senthir mencapai lebih dari 200 orang, termasuk para santri dan santriwati serta keluarga dan pengurus pondok pesantren.
Selain mengharapkan agar para santri mengingat perjuangan para pendahulu dalam mempelajari Alquran, Ngaji senthir juga bertujuan agar Allah menganugerahkan malam lailatul qadar.
“Jadi ini rutin setiap tahun selama empat tahun berturut-turut dilaksanakan acara seperti ini. Jumlah pesertanya sekitar 200 lebih, dari santri dan dari keluarga yayasan.”
“Ini adalah momen untuk menyambut lailatul qadar, santri-santri dikumpulkan untuk mengaji bersama-sama (berharap) agar bisa mendapatkan lailatul qadar,” tambahnya.
Baca Juga: Kasus Santri Dianiaya hingga Tewas di Jambi, Pelaku Rekayasa Kematian Korban
Ngaji senthir tersebut juga merupakan kegiatan penutup sebelum para santri diliburkan menjelang Hari Raya Idlfitri dan kembali ke kampung halaman masing-masing pada keesokan harinya.
“Besok mereka pulang ke tempat masing-masing, mudik ke rumah masing-masing, liburan di rumah santri masing-masing.”
Seorang pengasuh pondok pesantren lainnya Inayatul Rohmah, menjelasan hal yang sama. Menurutnya dengan mengaji di ruang terbuka dapat menambah kekhusyukan.
Para santri dinilainya dapat lebih fokus membaca Alquran dengan penerangan yang sederhana, meski malam ini beberapa obor an senthir sempat pdam tertiup angin.
“Mungkin ada kesultan karena anginnya terlalu kencang, jadi sebagian penerangannya hampir mati. Tapi itu tidak mengganggu karena masih ada yang lain,” kata Inayatul.
“Ngaji ini lebih fokus karena penerangan berkurang, fokus tapi kita masih bisa mengondisikan karena beda dengan hari-hari yang lain.”
Seorang santriwati bernama Reha Salsabilla, mengaku dirinya lebih khusyuk mengaji di alam terbuka dan dengan penerangan api obor.
Remaja yang duduk di kelas XI ini juga mengaku semakin dapat merasakan bagaimana kesulitan para pendahulu dalam mempelajari ilmu agama.
“Senang mengaji begini, apalagi bareng teman-teman,” ucapnya.
Reha yang sudah lima tahun menjadi santri di pondok pesantren tersebut mengaku setiap tahun dirinya mengikuti kegiatan ini.
“Saya sudah empat kali ikut. Mengajinya lebih khusyuk dan sekaligus mengenang zaman rasul dulu.”
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV