Banjir Bandang Luwu Diduga karena Kerusakan Alam di Hulu
Peristiwa | 18 Juli 2020, 09:33 WIBLUWU UTARA, KOMPAS.TV - Bencana banjir bandang yang menerjang enam kecamatan di Luwu Utara, diduga karena kerusakan keseimbangan alam. Praktik penebangan hutan dan perluasan lahan perkebunan sawit menjadi biangnya.
Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas) mengaku telah memprediksi potensi bencana yang akan melanda Luwu Utara saat melihat banyak kawasan yang telah dialihfungsikan. Terutama di hulu Sungai Masamba.
Analisa potensi bencana telah diterbitkan Pusat Studi Kebencanaan Unhas telah diterbitkan dalam Journal of Physics pada 2019 lalu.
"Banyak dialihfungsikan lahan di sana. Entah itu untuk pemukiman, perkebunan, entah itu logging atau sebagainya. Dua hal inilah yang mengakibatkan terjadinya banjir bandang kemarin," kata Ketua Pusat Studi Kebencanaan dan Guru Besar Teknik Geologi Unhas, Profesor Adi Maulana, seperti dikutip dari Kompas.com, Sabtu (18/7/2020).
Baca Juga: 14.000 Warga Luwu Utara Mengungsi Akibat Banjir Bandang
Pemerintah Kabupaten Luwu Utara semestinya kembali melihat rencana tata ruang wilayah. Karena fungsi hutan di hulu sungai tidak bisa dijadikan sebagai hutan produksi atau perkebunan.
Kawasan hutan di hulu sungai sudah mutlak harus dijaga. Pemkab juga harus melihat, apakah alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan akan memengaruhi daya dukung sungai atau tidak.
Analisa senada juga dikatakan oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Sulawesi Selatan. Menurutnya, banjir bandang di Luwu Utara salah satunya disebabkan konsesi perkebunan sawit dan dikeluarkan izin usaha pertambangan.
Luwu Utara punya luas wilayah 750.268 Hektare (Ha) dan luas Hak Guna Usaha (HGU) adalah 90.045 Ha. Sementara dari luas wilayah tersebut, tujuh perusahaan swasta menguasai 84.389 Ha. Sementara satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 5.665.00 Ha.
Baca Juga: Intip Penanggulangan Banjir di Luwu Utara Bersama Menteri PUPR
Dari luas wilayah HGU tersebut, lebih dari 61.000 hektare di antaranya digunakan untuk perkebunan kelapa sawit.
Jika diperiksa dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Luwu Utara dan geoportal ESDM, lokasi-lokasi yang disebutkan masuk dalam kawasan rawan bencana.
"Jadi itu sebagai lokasi likuifaksi dalam kategori sedang. Musibah yang terus berulang ini memperlihatkan pemerintah tidak merumuskan suatu kebijakan atau rencana strategis untuk menyelesaikan situasi seperti ini," kata Rizki Anggriani.
Peringatan untuk menjaga keseimbangan alam dalam mencegah terjadinya bencana juga dikeluarkan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo saat mengunjungi lokasi bencana banjir bandang di Kantor Bupati Luwu Utara, Jumat (17/7/2020) kemarin.
“Kejadian ini (banjir bandang) merupakan evaluasi bagi kita untuk bersungguh-sungguh memperhatikan dan menata keseimbangan ekosistem,” ujar Doni.
Diingatkan Doni, dalam satu setengah sampai dua tahun terakhir, Sulawesi Selatan mengalami dua kali peristiwa banjir bandang. Kejadian pertama terjadi di Makassar yang merenggut korban hampir 100 orang. Hal ini terjadi akibat alih fungsi lahan di bagian selatan.
“Perubahan ekosistem dan alih fungsi lahan di bagian selatan. Yang semula kawasan hutan lindung berubah jadi kawasan pertanian semusim, khususnya tanaman jagung."
"Hal ini harus jadi perhatian dan meningkatkan kesadaran kolektif bahwa ketika jumlah penduduk semakin bertambah dan kebutuhan lahan pertanian semakin banyak, yang harus kita utamakan dan ingat adalah kita harus menjaga keseimbangan alam,” jelas Doni.
“Jangan sampai alam terganggu karena kita mengelolanya tidak tepat,” tegas Doni.
Bukan tanpa sebab Doni mengatakan hal tersebut. Karena dia telah melakukan analisa secara visual dari udara dengan helikopter sebelum tiba di Kantor Bupati Luwu Utara.
”Jika melihat secara visual dari jarak jauh menggunakan helikopter, di wilayah Gunung Lero terlihat sebagian dari kawasan pepohonan itu mengalami longsor dengan kemiringan lebih dari 60 derajat dan yang hampir mendekati 90 derajat," papar Doni.
Namun begitu, BNPB akan mengkaji lebih lanjut, hujan pada tanggal 12 sampai 13 Juli atau hujan sebelumnya, dan pembukaan lahan atau galian yang menyebabkan bencana banjir bandang.
Dalam rilis yang dikeluarkan Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Jumat (17/7/2020), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah memberikan analisis penyebab banjir bandang yang menerjang beberapa kecamatan pada Senin (13/7/2020) lalu.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) mengidentifikasi beberapa faktor penyebab banjir tersebut.
Analisis tim LAPAN berdasarkan citra satelit Himawari-8 menyebutkan, hujan dengan intensitas yang cukup lama pada 12 Juli 2020 dari sekitar jam 22.00 WITA sampai jam 6.00 WITA tanggal 13 Juli 2020.
Kemudian pada siang hari sekitar jam 13.00 WITA kembali terjadi hujan dengan intensitas yang lama sampai malam hari ketika terjadi bencana banjir bandang.
Menurut analisis tersebut, curah hujan membawa pengaruh yang signifikan sebagai pembawa material lumpur dan ranting pohon dari wilayah hulu sungai.
Selain itu, struktur geomorfologi dan geologi Kabupaten Luwu Utara menunjukkan, wilayah hulu Sungai Sabbang, Sungai Radda dan Sungai Masamba merupakan perbukitan yang sangat terjal dan kasar. Kondisi tersebut terbentuk dari patahan-patahan akibat proses tektonik pada masa lalu.
Analisis Lapan menginformasikan, banyaknya patahan yang terdapat di wilayah ini menyebabkan struktur batuan atau tanahnya tidak cukup kuat untuk mempertahankan posisinya. Kemudian kondisi ini menyebabkan mudah longsor dan apabila terakumulasi dapat terjadi banjir bandang.
Sementara itu Bupati Luwu Utara Indah, Putri Indriani, menampik pembabatan hutan, perluasan kawasan pertambangan, dan pembukaan lahan baru di hulu sungai merupakan penyebab banjir bandang.
"Saya perlu klarifikasi terkait dengan tudingan tersebut, mengingat sudah ada hasil penelitian dari lembaga konservasi lingkungan kemudian hasil assesment terakhir dari teman-teman KPH (kesatuan pengelolaan hutan), termaksud dari dinas lingkungan hidup," kata Bupati Indah Putri via telpon, Kamis (16/7/2020) seperti dikutip dari Kompas.com.
Menurutnya, yang terjadi di Masamba adalah murni bencana setelah dua gunung mengalami longsor yaitu Gunung Lero yang berdampak ke Sungai Radda, dan Gunung Magandrang yang berdampak ke Sungai Masamba.
"Kalau kita melihat materialnya itu pasir. Sebagian besarnya didominasi pasir lalu kayu. Jadi kayu itu adalah kayu yang sudah lama, ada dengan akar-akarnya, artinya ini tidak ada ukuran sebagaimana kita ketahui kalau ada illegal logging begitu," jelas Indah.
Dia juga mengatakan hasil pantauan drone ada banyak titik longsor di lokasi bencana. Hal ini diperparah karena curah hujan yang sangat tinggi.
Pemerintah Kabupaten Luwu Utara sendiri telah mengambil langkah-langkah mitigasi selama beberapa tahun terakhir dengan cara mengedukasi masyarakat agar berhati-hati dan memberi peringatan kepada warga yang bermukim di sepanjang sungai.
Terkait penelitian soal potensi bencana di Luwu Utara, Indah mengatakan pihaknya punya PR besar. "Sekali lagi kami butuh kerja keras untuk meyakinkan masyarakat bahwa daerah kita ini betul-betul tidak kondusif dan tidak aman untuk dijadikan tempat pemukiman, sangat rentan bencana," jelas Indah.
Penulis : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV