ASPETI Angkat Bicara Pasca Tragedi Tambang di Suwawa Gorontalo
Sulawesi | 13 Juli 2024, 16:44 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Kegiatan Pertambangan tanpa izin (PETI) yang marak disejumlah daerah indonesia diduga akibat ada pembiaran serta minimnya pengawasan dari pihak berwenang. Disisi lain, perizinan tambang rakyat saat ini masih sulit karena belum optimalnya komitmen dari pemerintah pusat dan daerah dalam menetapkan Kepment dan Perda Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yaitu izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
“Adanya pembiaran dari pihak berwenang, kurangnya pengawasan dan sosialiasi dari pihak-pihak yang berwajib tentang prosedur dan tata cara pengurusan perizinan tambang rakyat. penyebab meruaknya banyak kasus PETI di indonesia,” kata Muhammad Rizal Zulkarnain selaku bidang advokasi pertambangan pada Asosiasi Penambang Bumi Pertiwi (ASPETI) di Jakarta, Sabtu (13/7/2024).
Rizal mengatakan maraknya aktivitas PETI juga tidak terlepas dari melemahnya pendapatan masyarakat yang diakibatkan karena terjadinya krisis ekonomi yang terjadi secara menyeluruh dalam lapisan masyarakat, khususnya masyarakat kelas bawah. Banyak warga yang mengantungkan mata pencahrian dari aktivitas ilegal karena peluang untuk menyambung hidup masyarakat di Desa adalah didunia pertambangan.
Data kementerian ESDM terdapat sebanyak 2.741 lokasi tambang ilegal atau Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di Indonesia, berdasarkan data per agustus 2021. Data ini harus menjadi perhatian yang serius oleh pemerintah, tindakan serius bisa berupoa pembinaan, pengawasan atau tindakan extrim berupa penutupan aktivitas tambang mineral.
“Secara normatif, pasal 158 UU No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mengatur bahwa PETI merupakan kejahatan sehingga pelakunya dikenai pertanggung jawaban pidana selama 5 tahun penjara dan denda 100 miliar akan digencarkan sehingga akan memberikan efek jera terhadap pelaku PETI,” ujarnya.
Rizal Mengungkapkan agar aktivitas Peti bisa diberantas, harus ada upaya pengelolaan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WPR). Dengan demikian, pertambangan bisa dilakukan pada area WPR, alih-alih melakukan kegiatan PETI.
Dalam kaitan itu Asosiasi Penambang Bumi Pertiwi mendesak Kementerian ESDM untuk melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk memberikan rekomendasi dan penyiapan WPR serta memberikan kemudahan penerbitan Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IPR) terhadap pertambangan rakyat yang tidak berizin, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Aktivitas PETI bisa diberantas, harus ada upaya hukum yang bersifat multisektor disertai koordinasi antarinstansi terkait, selain itu juga diperlukan penegakan hukum yang kuat serta supervisi antara kementrian ESDM dan lembaga agar pemberantasan praktik illegal ini bisa berhasil," ungkapnya.
Selain itu kata Rizal, perlu juga ada satgas penanggulangan PETI. Satgas ini tidak hanya bersifat penegakan hukum, tetapi melakukan pembinaan, fasilitasi, dan supervisi. Yang tak kalah penting sebut Rizal, adalah perlunya komitmen yang tinggi dari stakeholders terkait untuk mengatasi masalah PETI. Pembentukan satgas penanggulangan PETI menjadi salah satu cara ada kerja terorganisasi, lintas sektor, dan komperhensif dalam mengatasi persoalan PETI.
Catatannya, kegiatan PETI yang Kembali disorot usai insiden tanah longsor yang melanda Kawasan tambang mineral/ emas tanpa izin di Desa Tulabolo, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo yang terjadi pada tanggal 7 Juli 2024 Pukul 09.00 WITA. Berdasarkan data di posko induk Tim SAR gabungan pada pukul 14.00 WITA, jumlah korban meninggal dunia sebanyak 26 orang, korban yang masih dalam pencarian sebanyak 21 orang dan korban selamat 269 orang.
Penulis : KompasTV-Makassar
Sumber : Kompas TV