Berawal dari Keprihatinan Tata Krama, Pria di Jogja Tawarkan Baca Novel Bahasa Jawa Gratis
Jawa tengah dan diy | 4 Juni 2024, 21:00 WIBYOGYAKARTA, KOMPAS.TV – Lalu lalang kendaraan di kawasan titik Nol Kilometer Yogyakarta belum terlalu padat. Sejumlah orang mengenakan pakaian olahraga masih beraktivitas di kawasan itu.
Beberapa terlihat melakukan gerakan senam di bawah langit yang hanya berhias sedikit gumpalan tipis awan putih. Sebagian lainnya bersepeda melintasi kawasan itu.
Sesekali terdengar suara tapal kuda beradu dengan aspal di sela deru suara knalpot kendaraan yang melintas.
Namun, ada pemandangan yang sedikit berbeda. Seorang pria berkumis dan jenggot putih duduk tidak jauh dari sepeda kayuh yang terparkir di depan Museum Benteng Vredeburg.
Pada bagian belakang sepeda itu berjejer rapi beberapa eksemplar novel berbahasa Jawa. Dua lembar kertas bertuliskan ajakan membaca gratis terpampang di antara buku-buku itu.
Pria berjenggot putih berusia 68 tahun tersebut bernama Bambang Saparyono. Ia mengaku sudah dua atau tiga bulan terakhir memajang buku novel berbahasa Jawa di lokasi tersebut.
Siang tadi, Selasa (4/6/2024), Bambang mengenakan pakaian kasual, kaus berwarna hitam dan topi berwarna senada. Buku-buku yang ia tawarkan untuk dibaca secara gratis tersebut seluruhnya merupakan karya Bambang.
Berawal dari Keprihatinan
Dengan ramah Bambang menceritakan awal dirinya membuka taman baca gratis di lokasi itu. Kegiatan itu berawal dari keprihatinannya melihat anak-anak yang kurang tepat menggunakan bahasa Jawa dalam pergaulan.
Dalam bahasa Jawa ada sejumlah tingkatan, mulai dari bahasa Jawa ngoko (untuk orang yang seumur) hingga bahasa Jawa kromo hinggil atau bahasa Jawa halus yang semestinya digunakan saat bercakap dengan orang yang lebih tua atau orang yang baru dikenal.
Beberapa waktu terakhir, ia melihat bahwa banyak anak-anak zaman sekarang yang menggunakan bahasa Jawa ngoko saat berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, termasuk guru mereka.
“Justru ide itu muncul karena saya prihatin dengan keadaan sehari-hari, misalnya saya di masjid begitu, saya dirangkul sama anak kecil, terus bahasanya ngoko. Rasanya risih di telinga,” kata Bambang.
“Kemudian saya lihat anak-anak di sekolah itu pada gurunya juga bahasa ngoko, itu mengganggu telinga saya, kemudian di buku saya ini unggah-ungguh itu saya terapkan.”
Dalam novel-novel karyanya tersebut, Bambang menjelaskan bagaimana seharusnya anak-anak berbicara pada orang yang lebih tua, termasuk bagaimana seharusnya istri berbicara pada suaminya.
“Jadi membisakan tata krama dalam Bahasa Jawa. Justru indahnya bahasa Jawa itu karena ada tingkatannya.”
Namun, perjalanan Bambang untuk menerbitkan novel karyanya tidak mudah. Naskah novelnya sempat ditolak oleh penerbit mayor. Meski demikian Bambang tidak patah arang, ia mencoba menawarkan karyanya melalui penerbit indie. Ia pun mencetak sebanyak 50 eksemplar.
Tantangan yang ia hadapi tidak berhenti sampai di situ. Setelah buku karyanya terbit dengan biaya sendiri, ia mencoba menitipkan novelnya ke dua toko buku, namun ditolak.
“Ketika sudah jadi buku, ternyata saya titip ke toko pun, dua toko nggak mau dititipin, mungkin karena memang pasarnya kecil ya. Akhirnya kan saya harus cari cara.”
“Inilah jalan keluarnya. Ini pun pertama saya di depan Malioboo Mal, kan saya tulisi “Dijual”. tapi ternyata nggak boleh sama polsus karena memang di Malioboro nggak boleh jualan, akhirnya muncul ide ini (memberi bacaan gratis),” ungkapnya.
Tapi, tak diduga, ada salah satu toko buku daring yang kemudian justru mencetak karyanya sebanyak 60 eksemplar, dan hingga kini, Bambang telah mencetak ulang karyanya hingga tiga kali, meski dengn jumlah eksemplar yang tidak banyak.
Pemasaran hingga ke Hong Kong
Tak jarang pengunjung kawasan Malioboro yang membaca buku karyanya kemudian tertarik untuk membeli. Ia pun mengarahkan calon pembeli untuk berbelanja secara daring, atau bisa juga membeli dari dirinya langsung.
“Kalau ada yang minat bisa beli online, dan saya juga bawa barang dua eksemplar. Tapi yang itu (di sepeda) silakan dibaca gratis.”
“Ini pemasarannya lewat online, lewat anak saya, dia kirim ke Hong Kong. Buku ini sudah sampai Australia, Prof George Quinn, seorang profesor bahasa Jawa di Autralian National University, dia sangat getol dengn Sastra Jawa,” ucapnya.
Bambang kemudian menceritakan awal pertemuannya dengan George Quinn. Ia bertemu dengan George Quinn saat pegiat Sastra Jawa asal New Zealand tersebut berada di Indonesia.
Setelah membahas tentang bukunya, Bambang pun memberikan pada George Quinn sebagai kenang-kenangan.
“Jadi ketika dia ke sini, saya ketemu, akhirnya saya kasih, saya sangat senang sekali. Dia seorang New Zealand, tapi dia pernah kuliah di Sastra Jawa UGM, dan sampai sekarang aktif menghidupkan Bahasa Jawa,” kenangnya.
Meski menulis novel berbahasa Jawa, Bambang mengaku tidak memiliki latar belakang pendidikan Sastra Jawa. Pensiunan pegawai dinas kesehatan itu merupakan lulusan Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM).
“Saya justru dari Farmasi UGM, dan S2 saya Management Pelayanan Kesehatan Dasar dari Mahidol University Thailand.”
Selama ia membuka taman baca gratis di lokasi itu, cukup banyak pengunjung kawasan Malioboro merespons. Tapi sebagian besar mereka hanya berswafoto di depan sepeda taman bacanya.
Meski demikian, selalu ada pegunjung yang tertarik untuk membaca karyanya di tempat itu. Mayoritas pembaca, menurut Bambang, bukan anak muda.
“Kalau responsnya pengunjung, kalau sekadar foto bukan main, mungkin karena aneh, banyak sekali kalau yang foto. Tapi yang baca juga ada meskipun tidak banyak, tapi tiap hari pasti ada.”
“Kalau yang baca di sini memang agak sepuh. Tapi yang beli ada yang muda ada yang sepuh,” tambahnya.
Harga tiga buku karyanya berbeda-beda. Untuk buku pertama dengan judul “Ati Dudu Watu” penerbit memasang harga Rp85 ribu. Kemudian buku kedua yang merupakan cerita sambungan dari buku pertama, yakni “Mekaring Kembang Tresno” dipatok seharga Rp 75 ribu, sedangkan buku ketiga yang merupakan kumpulan cerita pendek dihargai Rp65 ribu.
Novel berjudul “Ati Dudu Watu” bercerita tentang konflik rumah tangga pasangan muda yang telah ckup lama menikah namun belum dikaruniai anak.
Orang tua dari tokoh pria di novel tersebut ingin segera menimang cucu, dan tidak sabar menunggu, sehingga mereka menjodohkan anaknya dengan wanita lain.
“Akhirnya dinikahkan lagi si anak itu, tapi akhirnya justru menjadi banyak konflik di dalamnya. Buku kedua itu lanjutannya. Ketika terjadi konflik menikah yang kedua, istri petama justru mengandung.”
“Tapi ini tidak diakui oleh bapaknya karena oleh dokter si bapak ini sudah pernah divonis bahwa spermanya lemah,” lanjutnya.
Novel kedua yang berjudul Mekaring Kembang Tresno” menceritakan masa remaja anak dari pasangan suami istri tersebut yang beranjak remaja dan berpacaran dengan teman kuliahnya.
Selain tiga boku yang telah terbit, Bambang juga tengah menyiapkan karya lain yang merupakan cerita anak berbahasa Jawa. Buku itu ditulisnya setelah ada tiga pengunjung menanyakan buku cerita anak.
Buku cerita anak tersebut diberinya judul “Liburan Menyang Desa”, yang merupakan kisah-kisah masa kecilnya di daerah Ngemplak, Kabupaten Sleman.
“Saya pernah ada tiga orang yang menanyakan buku cerita anak bahasa Jawa. Belum pesan buku, tapi ibu itu ingin ada bacaan Bahasa jawa untuk anaknya kelas 5.”
Saat ini buku itu sudah selesai ditulis, dan sudah dikirimkan ke penerbit. Amun ia masih menunggu hasil negosiasi dengan pihak penerbit.
“Tapi juga tergantung nanti istri saya yang menyediakan duit. Kabeh ragat dewe (semua dibiayai sendiri),” tuturnya.
Untuk sekali cetak dengan jumlah 50 eksemplar, Bambang harus menyiapkan anggaran sekitar Rp3 juta.
Keberadaan taman baca gratis tersebut di kawasan Titik Nol Kilometer Jogja tersebut juga mendapat apresiasi dari Agung, seorang petugas Jagamaton yang bertugas menjaga ketertiban di kawasan itu.
Menurutnya, selama kegiatan atau aktivitas di kawasan itu tidak berbayar dan tidak mengganggu pengunjung, tidak ada larangan. Terlebih kegiatan membaca buku grtais itu juga bermanfaat bagi pengunjung.
“Selama di sini tidak membebankan pembayaran, selama gratis itu tidak masalah,” kata dia.
“Kalau yang tidak boleh dilakukan di sini, di area nol kilometer itu adalah kawasan tanpa rokok. Asongan juga ada larangan. Kalau selama ini gratis dan dibaca di tempat, monggo, sekaligus menikmati suasana Jogja.”
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV