> >

Soal Penerapan Tarif TransJakarta Berdasarkan KTP, Ini Kata Anggota DPRD DKI Jakarta dan Pengamat

Jabodetabek | 11 Oktober 2023, 16:29 WIB
PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) akan mengubah penetapan tarif layanannya. Yaitu dari tarif Rp3.500 untuk semua rute dan penumpang, menjadi sistem tiket berbasis akun (account based ticketing/ABT). Sistem itu akan membedakan tarif untuk warga yang berdomisili di Jakarta dengan warga yang tinggal di luar Jakarta. (Sumber: Kompas.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Anggota DPRD DKI Sholikhah menolak kenaikan tarif TransJakarta untuk warga luar Jakarta.

Ia menilai hal itu justru membuat warga dari daerah penyangga kembali naik kendaraan pribadi. 

Pernyataan itu menanggapi Pemprov DKI Jakarta yang berencana membedakan tarif TransJakarta, MRT, dan LRT berdasarkan KTP dan status ekonomi pengguna. 

"Dengan memberikan tarif terintegrasi transportasi yang lebih tinggi untuk penduduk luar Jakarta akan membuat mereka kembali menggunakan kendaraan pribadi untuk bekerja dan beraktivitas," kata Sholikhah di Jakarta seperti dikutip dari Antara, Rabu (11/10/2023). 

Jika warga daerah penyangga kembali naik kendaraan pribadi, Jakarta akan jadi lebih macet.

Selain itu, ia menyebut warga luar Jakarta juga memberikan kontribusi ekonomi yang besar bagi Ibu Kota. 

Menurutnya, lebih baik Pemprov DKI menerapkan tarif terintegrasi di transportasi publik Jakarta. 

Baca Juga: TransJakarta Rute Cawang-Stasiun KCJB Halim sudah Beroperasi, Simak Jadwal dan Tarifnya di Sini

"Pembangunan dan pelayanan transportasi publik yang semakin baik akan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi termasuk penduduk luar Jakarta sehingga kemacetan bisa dikurangi," ujarnya. 

Senada dengan Sholikhah, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah menilai, kebijakan penetapan tarif TransJakarta berdasarkan KTP tidak tepat dan tidak efektif. 

Pasalnya, Jakarta adalah kota yang terbuka sehingga tidak mudah untuk memilah mana warga Jakarta dan mana yang bukan, dalam penggunaan transportasi umum sehari-hari.

Dengan adanya pembedaan tarif seperti itu, Trubus mengatakan, masyarakat mampu akan kembali naik kendaraan pribadi. 

"Kalau begitu nanti yang naik TransJakarta warga yang masuk DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) saja. Dampaknya yang menengah atas enggak mau naik kendaraan umum," kata Trubus saat dihubungi Kompas.tv, Rabu (27/9/2023). 

Baca Juga: Pengamat Usul TransJakarta Contoh KAI, Terapkan Kelas dan Tarif Berbeda tapi Jam Kedatangan Sama

Selain itu, masyarakat juga belum tentu mau untuk membuka data pribadi mereka kepada TransJakarta.

Sebagai informasi, sistem harga tiket yang nanti diterapkan adalah sistem tiket berbasis akun (account based ticketing/ABT).

Dengan sistem tiket ABT, data pengguna akan terintegrasi di aplikasi Jaklingko dengan kartu tiket transportasi.

Trubus menuturkan, TransJakarta lebih baik mengoptimalkan bus gandengnya untuk membagi kelas penumpang.

"Misal di bus gandeng yang bagian depannya, dibikin yang bagus fasilitasnya tapi tarifnya lebih mahal. Nah di bagian belakangnya, harganya tetap Rp3.500 dan fasilitasnya juga biasa saja," jelas Trubus. 

"Masyarakat bebas memilih tapi yang penting asas keadilan sudah terpenuhi. Yaitu sama-sama sampai tujuan pada waktu yang sama," tambahnya. 

Baca Juga: Dikritik Kurang Transparan soal RAPBD, Heru Budi: Sudah Dikasih Soft Copy, Bisa Buka jakarta.go.id

Begitu juga dengan LRT dan MRT bisa diterapkan konsep serupa.

Trubus mengatakan, TransJakarta bisa mencontoh konsep kereta api jarak jauh.

Di mana dalam satu rangkaian kereta ada gerbong eksekutif dan ekonomi yang fasilitasnya berbeda, tapi waktu tempuhnya sama.

Ia meyakini konsep seperti itu bukan bentuk diskriminasi terhadap masyarakat.

Asalkan sosialisasinya dilakukan secara masif dan baik. 

"Jadi nanti masyarakat yang bayar lebih ini, dipakai untuk mensubsidi yang Rp3.500. Karena memang tak dipungkiri subsidi transportasi umum cukup membebani Pemprov DKI. Subsidi selalu eror, jumlah yang dilaporkan beda dengan jumlah yang ada di lapangan," terangnya.

Trubus melanjutkan, langkah TransJakarta membedakan tarif itu juga sebagai persiapan Jakarta kehilangan status Daerah Khusus Ibu Kota.

Dengan begitu, Jakarta juga akan kehilangan subsidi khusus dari pemerintah yang sebelumnya dinikmati karena berstatus Ibu Kota Negara. 

Sementara itu, Anggota DPRD DKI Jakarta Komisi B Taufik Azhar mengatakan, setuju dengan rencana TransJakarta menerapkan tarif berdasarkan domisili atau KTP penggunanya serta berdasarkan status ekonomi penumpang.

Apalagi kini Jakarta perlu menstabilkan ekonominya.

Pada 2024 nanti, Jakarta statusnya berubah dari Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ).

Baca Juga: KA Suite Class Compartment Berangkat Perdana dari Surabaya, Tiket Rp1,9 Juta Penumpang Tetap Full

"Kalau saya sih dalam hal ini setuju-setuju saja. Karena kita tidak bisa terus mengandalkan penambahan dana subsidi kewajiban layanan publik (public service obligation/PSO)," kata Taufik pada Rabu (27/9).

Menurut Taufik, PSO sudah seharusnya tepat sasaran sehingga perlu dibedakan tarifnya bagi setiap pelanggan.

"Kita butuh moda transportasi yang lebih baik, polusi udaranya juga menghilang, itu yang kita harapkan," ucapnya.

Meski demikian, Taufik mengatakan, usulan terkait kenaikan tarif TransJakarta sesuai status ekonomi dan domisili penumpang belum dibahas di tingkat DPRD.

Baca Juga: Soal Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres, Cak Imin Percaya Hakim MK Jujur

Adapun tujuan penerapan tiket berbasis akun ini agar subsidi tiket yang digelontorkan di tiga mode transportasi publik milik DKI Jakarta lebih tepat sasaran.

Saat ini, tarif subsidi diterapkan untuk seluruh masyarakat yang menggunakan LRT, MRT dan TransJakarta, baik warga ber-KTP DKI maupun non-DKI.

Pengoperasian TJ, MRT, dan LRT memerlukan biaya total sekitar Rp7 triliun dalam setahun.

Pemerintah Provinsi DKI tiap tahun mengeluarkan biaya dalam bentuk PSO sekitar Rp4 triliun agar biaya tiket terjangkau.

Penulis : Dina Karina Editor : Deni-Muliya

Sumber : Antara, Kompas.tv


TERBARU