Rintik Gerimis di Sela Rangkaian Prosesi Wisuda Para Penari Lengger di Wonosobo
Jawa tengah dan diy | 10 Juli 2023, 12:54 WIBWONOSOBO, KOMPAS.TV – Suara tabuhan kempul, alat musik tradisional menyerupai gong yang berukuran kecil, awalnya terdengar samar, namun makin lama kian jelas terdengar di area pesawahan Dusun Giyanti, Desa Kadipaten, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.
Siang itu, Sabtu (8/7/2023), warga Desa Wisata Giyanti menggelar kegiatan Wisuda Lengger Wonosobo, yang diawali dengan ziarah ke makam leluhur.
Seusai berziarah, ritual selanjutnya adalah jamasan dan larung sesaji yang tempat pelaksanaannya di lokasi semacam lembah dengan mata air dan kolam yang berdampingan dengan pesawahan milik penduduk.
Uba rampe atau perlengkapan ritual wisuda sudah siap di tempat itu, mulai dari kembang setaman, telur, hingga gayung untuk menyiram para penari Lengger yang bakal melaksanakan wisuda.
Mendung kelabu menutupi mengiringi kedatangan belasan penari peserta wisuda yang berjalan beriring menuruni undakan tanah.
Tetesan rintik hujan yang jatuh di air kolam menimbulkan pola tak beraturan di permukaan. Puluhan bahkan ratusan pengunjung yang hadir mulai mencari tempat berteduh.
Namun, rangkaian wisuda yang baru akan dimulai tak terhenti oleh guyuran hujan nan semakin deras membasahi tanah.
Tanah basah menempel di kaki para penari, rambut mereka yang sebagian besar panjang terurai, menempel di kulit leher serta pakaian putih yang dikenakan.
Setibanya di ujung pematang, sekitar dua atau tiga meter dari tempat mereka bakal menjalani penyiraman, iring-iringan itu berhenti.
Hujan yang tadi cukup deras perlahan reda, menyisakan gerimis tipis. Satu per satu penari Lengger berjalan menuju pria berpakaian adat yang menggenggam gayung.
Mereka berjongkok sambil menangkupkan kedua tangan, membiarkan air dari gayung pria bersurjan mengalir membasahi kepala dan tubuhnya.
Lalu, satu persatu berjalan jongkok setelah mengambil uba rampe berupa kembang setaman dan telur dalam wadah berbahan anyaman bambu, menuju tempat yang disediakan.
Beberapa puluh menit berselang, belasan penari Lengger itu seluruhnya sudah menjalani penyiraman dan berdiri berjejer di tepi kolam.
Para wanita itu kemudian berbaris di pematang, menuju titik mereka bakal melarung atau melepaskn uba rampe tersebut, yakni tepat di samping gubuk dengan bendera merah putih di atasnya.
Setelah berdoa, para penari Lengger itu bersamaan melarung uba rampe ke kolam, sebagai perlambang membuang hal negatif dari diri mereka.
Prosesi wisuda dilaksanakan malam harinya, di panggung yang terletak tidak jauh dari lokasi jamasan dan larung sesaji.
Wisuda Tahun Keempat
Pelaksaanaan Wisuda Lengger tahun ini merupakan yang keempat, namun yang pertama kali dilaksanakan tersendiri. Sebelumnya Wisuda Lenger selalu bersamaan dengan Rakanan Suro Desa Giyanti.
“Rutin tiap tahun, ini sudah tahun keempat. Biasanya kegiatan ini digabung bersama kegiatan desa, Rakanan,” kata Ahnaf Kustanto, Ketua Pokdarwis dan Ketua Desa Wisata Giyanti.
“Nah, ini kita coba tahun ini kita pisah, biar mandiri karena biar bagaimana pun juga kita mau event ini besar juga kan, jangan nginduk terus, ini tahun pertama coba kita pisah.”
Ahnaf pun menceritakan awal mula penari Lengger wanita di tempat itu, yang muncul pada sekitar tahun 1982.
Daerah itu merupakan tempat awal lahirnya Lengger sebagai kesenian. Awalnya, penari Lengger bukan para wanita, melainkan pria.
Di awal kemunculan penari Lengger wanita, sempat muncul image atau pandangan yang kurang bagus di luaran. Hal itu disebabkan aktivitas menari Lengger biasanya dilakukan pada malam hari.
Wisuda Lengger sebetulnya sudah lama dilakukan, dengan tujuan membekali para penari dengan attitude tata krama. Namun, baru empat tahun dilaksanakan sebagai event wisata.
“Jadi teman-teman dilatih, misalnya attitude nya seperti apa, itu dilatih di sini, dan itu bukan hanya penari-penari yang lahir di sini. Kemarin ada yang dari Temanggung, ada yang dari Banjarnegara,” tambah Ahnaf.
Setelah pelatihan yang diakhiri dengan kegiatan wisuda tersebut, para penari Lengger akan menerima semacam sertifikat bahwa dia sudah menjalani pembekalan Lengger.
Para penari Lengger yang belum mengikuti pembekalan dan wisuda tetap boleh menari, tapi biasanya penanggap atau orang yang ingin memanggil akan memilih penari yang sudah wisuda.
Ahnaf menganalogikan hal itu dengan sekolah. Ia beranggapan bahwa cukup banyak orang pintar di luar sana, tetapi biasanya yang memiliki ijazah atau sertifikat lebih dipilih oleh pemberi kerja.
“Paling tidak, yang satu pandai dan yang satu tidak begitu pandai misalnya, tapi yang satu sudah bersertifikat misalnya, paling tidak secara legalitasnya, secara attitude dia sudah melewati tahapan itu.”
“Mungkin orang yang pandai tapi tidak sekolah banyak sekali, tapi biasanya yang akan diambil secara legalitasnya adalah yang walaupun tidak pandai banget tapi dia ada legalitasnya, ada ijazahnya, gitu kan,” urainya.
Di awal pelaksanaan wisuda sebagai event wisata, jumlah penari Lengger yang mengikuti wisuda mencapai kurang lebih 60 orang.
Namun, mulai tahun ini panitia membatasi jumlah peserta wisuda hanya maksimal 20 orang. Pertimbangannya adalah tidak setiap tahun ada penari Lengger baru.
Jika tidak dibatasi, ada kekhawatiran di tahun-tahun berikutnya kegiatan Wisuda Lengger ini akan terhenti karena tidak adanya penari yang siap wisuda.
Meski pelaksanaan event wisata ini di Desa Giyanti, namun ada harapan bahwa kegiatan tersebut bisa menjadi event tingkat kabupaten atau provinsi, bahkan nasional.
Terlebih pihak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonosobo sangat mendukung pelaksanaan kegiatan Wisuda Lengger tersebut.
“Jadi kita inginnya ini jadi event kabupaten. Harapan kita, event ini, karena di kabupaten lain tidak ada, ya nantinya paling tidak provinsi atau nasional targetnya. Dari pemerintah kabupaten juga mensupport untuk kegiatan ini,” imbuh pria yang juga merupakan Ketua karang Taruna tersebut.
Filosofi Wisuda Lengger
Seperti pada umumnya kegiatan tradisi dan budaya, Wisuda Lengger pun memiliki filosofi terpendam.
Salah satunya adalah pada kegiatan melarung uba rampe yang melambangkan membuang hal buruk dalam diri penari agar terbuang jauh.
Menurut Ahnaf, melarung semacam sesaji tersebut merupakan hal yang biasa dilakukan oleh penduduk, baik di gunung maupun di pesisir.
Bagi warga pesisir, biasanya mereka melarung sesaji di lautan lepas, sementara untuk mereka yang tinggal di pegunungan, biasanya melariung di tempuran sungai atau titik pertemuan dua sungai.
“Jadi kita menyucikan diri, biasanya kita melarung untuk perlambang membuang sesuatu yang buruk,” katanya.
“Kita sebetulnya dialirkan di sungai, biar hilang jauh, tapi di sini sungainya jauh, harusnya di tempuran, pertemuan antara sungai satu dan sungai lain,” tambahnya.
Pelaksanaan larungan pada ritual Wisuda Lengger tidak dilakukan di sungai dengan pertimbangan lokasi tempuran yang cukup jauh dan dikhawatirkan akan memakan banyak waktu.
Sebagai penggantinya, larung dilakukan di kolam yang bersumber dari mata air di desa itu.
“Jadi kita ambil alternatif lain, yang penting di situ ada air bersih, dan itu tadi kan di kolam itu kan sumbernya dari mata air, dan itu memang mata air itu sumber penghidupan masyarakat sini.”
Tradisi dan pakaian adat masyarakat setempat yang mirip dengan tradisi Keraton Mataram, kata Ahnaf, bukan karena mereka meniru-niru, melainkan karena memang sekitar 30 persen warga dusun itu masih keturunan Tumenggung Mertoloyo.
“Di sini Dusun Giyanti, Desa Kadipaten. Sebanyak 30 persen warga di sini masih trah dari Mataram dari Hamengkubuwono I, tepatnya dari Trah Tumenggung Mertoloyo IV, beranak pinak di sini.”
“Kita masuk ke manajemen keraton juga ada, nama kita memang terdaftar di sana,” tambahnya.
Bahkan warga setempat juga rutin melaksanakan peringatan Rakanan Suro Desa Giyanti yang merupakan pengingat bahwa mereka merupakan keturunan Tumenggung Mertoloyo.
Kegiatan itu dilakukan rutin setiap Bulan Suro atau Muharam di Hari Jumat Kliwon, dengan berziarah ke Makam Mertoloyo.
"Untuk kegiatan yang ke makam Mertoloyo itu di bulan Juli itu, tanggal 28 besok. Kita ambil ulang tahunnya sejak tahun 1755, perjanjian Giyanti.”
“Wisuda Lengger ini biasanya bareng sama Rakanan Suro, Bulan Suro. Kalau di Suro kan kita di Jumat Kliwon, tidak boleh tidak,” tegasnya.
Pihaknya sengaja memisahkan event Wisuda Lengger dengan Rakanan Suro, dengan tujuan agar Wisuda Lengger bisa besar dan banyak didatangi oleh wisatawan.
Terlebih untuk event Wisuda Lengger, menurutnya waktu pelaksanaannya bisa menyesuaikan, berbeda dengan Rakanan Suro.
“Kenapa kita pisah? Supaya kita eventnya bisa ngambil di weekend, jadi teman-teman dari luar kota bisa hadir. Coba kalau diadakan Jumat atau Kamis, belum tentu bisa hadir,” ujarnya
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV