Tradisi Sambatan, Tetangga Saling Bantu Sumbang Tenaga tanpa Bayaran
Jawa tengah dan diy | 15 Juni 2023, 07:10 WIBKULON PROGO, KOMPAS.TV - Gotong royong merupakan salah satu tradisi saling menolong yang hingga kini masih terjaga, salah satu wujud nyatanya adalah kegiatan ‘Sambatan’ di wilayah Kabupaten Kulon Progo.
Suara sejumlah orang yang sedang bercengkrama terdengar di sela ketukan palu dari atas rumah salah satu warga Dusun Jambon, Desa Donomulyo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah istimewa Yogyakarta.
Pagi menjelang siang itu, Minggu (11/6/2023), puluhan pria masih berkumpul di halaman rumah salah satu warga.
Sebagian tampak duduk bergerombol di dekat tenda terpal berwarna biru sambil menikmati minuman hangat dari tuan rumah.
Sejumlah pria lain berdiri berjejer di halaman hingga tepat di samping tembok batako. Sedangkan beberapa orang terlihat berjongkok di atas rumah.
Sebagian besar atap rumah tersebut belum terpasang genteng. Hanya rangka balok kayu kecil yang membentuk kotak-kotak kecil.
“Tangkap,” teriak pria yang berdiri paling ujung, sambil melemparkan genteng tanah liat ke arah rekannya yang jongkok di atas rumah.
Sigap pria yang di atas menangkap genteng tersebut, kemudian menyusunnya di atas balok kayu atau reng di atap rumah.
Sementara, pria-pria lain yang berbaris di belakang pelempar, menyodorkan satu per satu genteng kepada rekannya.
Butiran keringat terlihat jelas di dahi warga yang sedang “Sambatan” atau bergotong royong merenovasi rumah milik Paino (54) tersebut.
Sinar matahari yang cukup terik membakar kulit seperti tak dirasakan oleh mereka. Ada yang bercanda sambil terus bekerja dan sesekali menyeka keringat menggunakan kausnya.
Ada juga yang terlihat asyik menyedot batang rokok kemudian mengembuskan asapnya sembari memberikan genteng pada rekan di sampingnya.
Setelah salah satu kelompok yang bekerja merasa lelah, kelompok lain yang tadi beristirahat di bawah tenda kemudian menggantikan tugas mereka.
Pemilik rumah tersebut, Paino, mengaku bersyukur dengan masih terjaganya tradisi Sambatan atau bergotong royong di dusunnya.
Paino menceritakan antusiasme warga untuk datang bergotong royong saat pagi hari. Ada sekitar 90 hingga 100 warga yang datang untuk membantunya merenovasi atap rumah.
Pagi itu, seluruh genteng lama yang ada di atap masih terpasang baik. Sekitar Pukul 07.00 WIB, puluhan warga yang mengetahui bahwa Paino akan merenovasi atapnya, tiba di halaman.
Mereka membawa peralatan yang dimiliki untuk membantu Paino.
“Nggih kurang lebih 100 orang,” kata Paino yang sedang duduk di samping sejumlah warga lain.
Dengan jumlah pekerja yang cukup banyak, proses penurunan genteng hanya memakan waktu kurang dari dua jam.
Selanjutnya, warga yang memiliki keterampilan pertukangan pun mulai melepas balok kayu lama dan menggantinya dengan yang baru.
Sekitar Pukul 11.00 WIB, penggantian balok penyangga sudah kelar, bahkan puluhan keping genteng sudah dinaikkan ke atas.
Paino yakin bahwa proses pemasangan genteng tersebut akan selesai dalam waktu kurang dari satu hari. “Kira-kira satu hari rampung.”
Ia mengakui rasa kekeluargaan dan kebersamaan di daerahnya tersebut memang sangat kuat, sehingga siapa pun warga yang mempunyai hajat, warga lain dipastikan akan datang membantu.
Paino maupun warga lain yang mempunyai hajat merenovasi rumah tidak perlu mengeluarkan biaya untuk jasa tukang. Mereka hanya perlu menyiapkan makan siang, cemilan, dan kopi atau teh.
Biasanya, kata Paino, Sambatan dilaksanakan pada hari Minggu atau hari libur, sebab jika hari kerja, sebagian besar warga sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Berbagi Tugas
Saat para pria warga desa sibuk bekerja sambil bercengkrama di halaman samping, sekitar sembilan atau sepuluh perempuan terlihat memasak di halaman belakang rumah.
Asap putih tipis dari tungku masak dari beberapa batako yang disusun terlihat membumbung dan tampak dari tempat para pria bekerja.
Tiga perempuan paruh baya duduk di semacam kursi besar berbahan bambu atau lincak. Masing-masing mereka memegang pisau. Ada yang memotong sayuran, dan ada mengupas bumbu dapur.
Seorang pria datang, kemudian jongkok di depan tungku. Jemarinya yang sudah mulai keriput terlihat menggenggam batok kelapa.
Ia melemparkan beberapa potong batok kelapa tersebut ke dalam bara api di bawah panci yang menghitam.
Perlahan asap putih yang muncul semakin tebal, lalu saat batok kelapa itu memerah terbakar, asap dari batok kelapa itu menipis.
Hanya beberapa meter dari kelompok ibu-ibu itu, tiga perempuan lain beraktivitas di depan kompor gas. Mereka memasak, entah sayur atau lauk pauk.
Tradisi Sambatan bukan hanya diikuti oleh kaum pria saja. Beberapa perempuan tak jarang turut serta memberi bantuan tenaga. Biasanya merekalah yang menyiapkan konsumsi untuk para pria yang bekerja.
Seorang pria paruh baya yang duduk di rumput, tidak terlalu jauh dari kelompok ibu-ibu tersebut, ramah mengajak berbincang.
Kemadi (54), nama pria itu, menuturkan bahwa tradisi Sambatan sudah ada di daerah itu sejak puluhan bahkan mungkin ratusan tahun lalu.
Namun, untuk lebih menguatkan dan memudahkan pelaksanaan tradisi itu, ia beserta puluhan warga lainnya yang berjumlah sekitar 60 orang membentuk kelompok.
Nantinya, saat ada warga yang hendak melakukan hajatan atau membutuhkan bantuan tenaga, anggota kelompok Guyub Rukun tersebut akan membantu dan berbagi tugas.
Mereka akan bergantian dalam mengerjakan tugas, termasuk memasak dan menyiapkan konsumsi.
“Nggih mboten dibayar (tidak dibayar),” tuturnya.
“Tapi untuk yang bertugas memasak nasi biasanya tidak bergantian, sudah ada petugas khususnya,” lanjut Kemadi.
Dengan membagi tugas, menurutnya kegiatan gotong royong yang dilakukan pun menjadi lebih terarah.
Selain melestarikan tradisi Sambatan, beberapa warga di dusun ini juga aktif dalam bidang kesenian, seperti jathilan, panjidur, dan kesenian tradisional lainnya.
Di wilayah dusun Jambon juga terdapat satu mata air, yakni Sendang Ponces, yang tidak pernah kering meski kemarau panjang.
Sendang itu hanya berdiameter sekitar 2 meter dan terletak tepat di bawah pohon berukuran raksasa.
Warga setempat memanfaatkan air sendang untuk kegiatan sehari-hari seperti memasak, minum, mencuci, dan kebutuhan lain.
Mereka pun tidak perlu jauh-jauh menuju sendang untuk mendapatkan air, sebab sudah ada satu kelompok yang bertugas untuk mengelola air sendang.
“Namanya Pamdus, jadi air sendang dipompa terus dialirkan ke rumah warga pakai pipa,” kata Kemadi.
Kemadi mengaku dalam sebulan dirinya hanya mengeluarkan biaya maksimal Rp40 ribu untuk pembayaran air dari sendang.
Uang yang terkumpul dari pengelolaan air sendang tersebut, menurut Kemadi, sebagian dimasukkan ke kas kampung, dan digunakan oleh warga saat ada kegiatan.
“Jadinya dari warga untuk warga. Misalnya ada kegiatan apa di kampung, bisa pakai uang kas itu,” lanjut Kemadi.
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV