Kisah Durori, Perajin Rebana yang Sudah Bergelut dengan Kayu dan Kulit Kambing Lebih dari 60 Tahun
Budaya | 18 Maret 2023, 13:24 WIBMAGELANG, KOMPAS.TV – Suara mesin bubut terdengar dari ruangan berukuran sekitar 7 x 7 meter di kawasan Jareyan, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (16/3/2023) lalu.
Seorang pria terlihat serius membubut kayu bundar. Ia memegang besi pahat dengan kedua tangannya, kemudian menekannya dari pinggir kayu menuju ke tengah.
Suara gesekan pahat dan kayu seperti berpadu dengan suara mesin. Sementara serpihan kayu meloncat-loncat memenuhi ruangan di sekitar pria tersebut.
Puluhan bahkan mungkin ratusan kayu yang sudah dibubut bertumpuk di ruangan itu, menunggu proses selanjutnya.
Di bagian depan ruangan, berdiri dua kayu berbentuk silinder berukuran lebih besar, yang rencananya akan dibuat menjadi bedug.
Tak kalah banyak, kulit kambing bekas dari rebana rusak yang diperbaiki di tempat itu juga bertumpuk di sisi lain ruangan.
Sejumlah peralatan dan perkakas lain juga ada di tempat itu dan di dua ruangan lainnya, yang menjadi tempat produksi rebana serta gudang.
Turun-Temurun sejak 1921
Pria muda itu merupakan anak dari Muhammad Durori (72), pemilik usaha rebana yang sudah lebih dari 60 tahun bergelut dengan kayu dan kulit kambing.
Durori mulai berprofesi sebagai perajin rebana sejak tahun 1961. Ia meneruskan usaha yang telah dirintis kakeknya dan dilanjutkan oleh sang ayah.
“Ini turun temurun sejak ayah saya dan kakek saya, senengane cuma bersalawat. Kalau mulai kapan saya buat rebana itu tahun 1961,” ucapnya saat ditemui di ruang tamu rumahnya.
“Kalau dari kakek dan ayah saya, mulainya sejak tahun 1921.”
Beberapa foto lawas berbingkai terpasang di dinding ruang tamunya. Sebagian foto itu merupakan fotonya saat muda, sebagian lagi merupakan foto kakek dan ayahnya.
Menurut Durori, proses pembuatan rebana saat ini jauh lebih mudah daripada saat awal dirinya bergelut dengan pekerjaan ini.
Dulu, proses pembuatannya menggunakan tatah atau pahat, sehingga dari sisi estetik terlihat kurang cantik, meskipun dari sisi suara tetap sama.
Saat ini, sebagian besar proses pembuatannya menggunakan alat bantu mesin, seperti mesin bubut dan lainnya, sehingga dari sisi penampilan, rebana tampak lebih halus.
“Kalau dulu, bikinnya cuma pakai tatah, kalau sekarang dibubut, dipandang enak dipegang juga enak, lebih bagus.”
Sejak dulu hingga kini, Durori hanya menggunakan kayu-kayu tertentu sebagai bahan baku rebana buatannya.
Beberapa jenis kayu yang biasa digunakan adalah kayu membo, kayu nangka, kayu mahoni, serta kayu mangga.
Masing-masing jenis kayu memiliki kelebihan masing-masing, namun satu yang pasti, kualitas dan suara yang dihasilkan dari rebana buatannya selalu terjaga.
“Kayu di sini kayu nangka dan kayu membo. Kalau kayu membo itu berat tapi seratnya lembut, dibubut sudah halus, tapi berat, gampang capek,” tuturnya.
“Kalau kayu nangka ringan. Kayu mahoni juga bisa, kayu mangga, tapi yang paling banyak dari kayu nangka.”
Beberapa jenis kayu bahkan dibelinya dari luar Jawa Tengah. Hal itu untuk menjaga kualitas rebana buatannya.
Demikian pula dengan kulit bahan baku rebana, Durori selalu menggunakan kulit kambing betina untuk menjaga kualitas suara.
Ada perbedaan kualitas suara antara kulit kambing jantan dan betina. Suara tabuhan rebana berbahan kulit kambing betina disebut lebih nyaring.
“Kalau rebana bagus dari kulit kambing, tapi yang betina, bukan yang jantan.”
“Kalau yang betina, caranya memukul pelan tapi suaranya sudah keras. Kalau kulit kambing jantan itu dipukul keras suaranya tetap pelan, kurang baguslah,” tuturnya.
Selain memproduksi rebana, Durori yang kini dibantu oleh anaknya, juga membuat bedug. Namun, untuk bedug, ia membuatnya sesuai dengan pesanan.
Bedug buatan Durori berdiameter antara 70 hingga 90 sentimeter, dan menggunakan kulit lembu sebagai bahannya.
Durori juga menerima jasa servis atau perbaikan rebana. Biasanya perbaikan dilakukan dengan mengganti kulit yang rusak atau sobek.
Dari Mulut ke Mulut
Durori menceritakan, pada awalnya pemasaran rebana buatan ayah dan kakeknya hanya melalui mulut ke mulut.
Pemesan rebana yang merasa puas dengan suara yang dihasilkan, kemudian merekomendasikan kerajinan tersebut kepada orang lain.
Kini, rebana buatannya sudah memiliki cukup banyak pelanggan, mulai dari para kyai di kawasan Yogyakarta dan Jawa Tengah, sekolah, pondok pesantren, hingga kelompok pengajian.
“Pesenan itu dari pondok pesantren ada, dari mulut ke mulut. Pak kyai-pak kyai juga. Kelompok pengajian banyak juga.”
Dulu, sebelum tahun 2000-an, kata Durori, rebana kerap digunakan sebelum waktu buka puasa Ramadan tiba.
Para penabuh rebana biasanya memainkan tiga hingga empat lagu selawat sambil menunggu jemaah tiba di masjid.
“Nek (kalau) dulu, tahun-tahun sebelum 2000, kalau mau takjil, sebelum pengajian dimulai, sekadar memanggil orang-orang, pakai rebana dulu, dua atau tiga lagu, atau kalau jemaah sudah kebak (penuh) baru dimulai pengajian.”
Hingga beberapa tahun lalu, pesanan rebana selalu meningkat menjelang bulan suci Ramadan. Namun, tahun ini pesananya biasa saja.
Durori mematok rebana berdiameter 28 hingga 30 sentimeter dengan harga Rp400 ribuan. Menurutnya, itu cukup sepadan dengan proses pembuatan yang memakan waktu cukup lama.
Proses pembuatan satu unit rebana bisa memakan waktu hingga sepekan, bahkan bisa lebih lama lagi.
Dalam pembuatannya, Durori menggunakan kayu utuh yang kemudian dibubut hingga berbentuk bundar.
“Di sini itu bagusan ya, nggak seperti yang lainnya, di sini memang kayunya pilih yang bagus, yang utuh juga, jadi suaranya juga bagus.”
“Kayu masih hidup, ditebang, baru dibuat,” kata dia.
Selanjutnya, kayu rebana tersebut dilubangi bagian tengahnya, dan dihaluskan menggunakan amplas, lalu diwarnai dan dijemur.
Setelah proses penjemuran, pembuatan rebana dilanjutkan dengan proses pemasangan kulit. Proses ini terkadang harus diulang beberapa kali untuk menghasilkan suara yang nyaring.
Pada proses pemasangan kulit tersebut, Durori menggunakan alat khusus untuk menarik kulit kambing agar menegang.
Selanjutnya, kulit kambing yang sudah terpasang itu dibiarkan beberapa lama, lalu dipotong sesuai dengan diameter rebana.
Tak jarang kulit tersebut terlepas, sehingga ia harus memulai proses pemasangannya untuk menjaga kualitas suara yang dihasilkan.
Sebagai orang yang bisa menabuh rebana sekaligus berselawat, Durori menjajal langsung semua rebana buatannya.
“Kulo nek nggawe mboten mung asal-asalan (Saya kalau bikin tidak asal-asalan). Kulo vokal saged, nuhuk juga saged (Saya bisa vokal dan bisa menabuh juga),” tuturnya.
Berbeda dengan pembuatan rebana, untuk memproduksi satu unit bedug, Durori membatasi ukuran pesanan karena menurut dia, mencari bahan baku kayu utuh dengan diameter besar sudah cukup sulit.
Demikian pula dengan mencari bahan baku kulit lembu untuk bedug berdiameter besar.
“Bedug juga buat, ukuran di sini 70 sampai 90 sentimeter. Kalau yang terlalu besar cari kayunya juga susah.”
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV