> >

Kisah Para Pengolah Sampah di Yogyakarta, Sulap Plastik Jadi Wayang hingga Bahan Bakar

Sosial | 28 Januari 2023, 10:30 WIB
Iskandar Harjodimulyo, seorang seniman, sedang menyelesaikan pembuatan wayang uwuh berbahan sampah plastik di rumahnya di Demangan, Yogyakarta, Jumat (27/1/2023). (Sumber: Kompas TV/Kurniawan Eka Mulyana)

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV – Iskandar Harjodimulyo terlihat sedikit sibuk pada Jumat (27/1/2023) pagi lalu. Jemari tangan kanannya lincah menggerakkan sapu lidi menyusuri jengkal demi jengkal tanah.

Dedaunan kering yang berguguran di sekitar tempat itu, Angkringan Wayang Uwuh, yang terletak di Jalan Bimasakti, Demangan, Gondokusuman, Kota Yogyakarta, disapunya hingga terkumpul di satu tempat.

Berbeda dengan angkringan pada umumnya, lukisan beberapa tokoh wayang tampak menghiasi warung milik Iskandar tersebut.

Rak yang ada di warung itu juga berbeda dengan angkringan lain. Di situ, tertata rapi belasan bahkan mungkin puluhan buku bacaan. Sementara di sudut lain, terdapat puluhan wayang yang dibuat dari limbah.

Iskandar sengaja menyiapkan buku-buku bacaan di warungnya untuk pengunjung yang gemar membaca. Pengunjung boleh membacanya gratis, tapi tidak boleh dibawa pulang.

Sedangkan puluhan wayang di warungnya merupakan hasil karya Iskandar. Ia mendaur ulang sampah, khususnya sampah plastik menjadi karya seni wayang.

Suara sapu lidi yang tadi bergesekan dengan bumi, perlahan menghilang. Iskandar telah selesai membersihkan halaman di sekitar warungnya.

Mengenakan kaus putih bergambar salah satu tokoh pewayangan dan sarung motif batik, ia menceritakan awal dirinya tertarik memproduksi wayang berbahan sampah atau uwuh.

Saat duduk di bangku sekolah dasar (SD), Iskandar suka menonton pertunjukan wayang. Ia pun mulai mencoba membuat wayang. Tapi kala itu, ia membuatnya dari bahan kardus.

Namun hobinya tersebut terhenti kala Iskandar duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Baru berlanjut ketika ia duduk di bangku kelas 3 sekolah menengah atas (SMA).

“Terus waktu kuliah sama sekali nggak nyentuh (wayang, red), malah aktif di misi kemanusiaan, KSR (Korps Sukarela, red), dan pecinta alam. Saya sering ikut misi mencari orang hilang di gunung, sampai ikut cari pesawat jatuh,” tuturnya mengenang.

Baca Juga: Ibu- Ibu Olah Sampah Jadi Kerajinan Bernilai Ekonomi

Setelah lulus kuliah, Iskandar merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai internal auditor di salah satu perusahaan multinasional. Ia beberapa kali beralih profesi.

Pada tahun 2002, ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan fokus menjadi seorang seniman. Ia kembali melukis wayang di kertas dan kaca.

Iskandar mengaku sempat beberapa kali mengikuti dan menggelar pameran seni rupa.

Ia sempat bingung mencari ide karya karena saat itu uang yang dimilikinya cukup minim. Kala itu, ia juga aktif menjadi relawan di bantaran Sungai Ciliwung.

Suatu ketika, di tahun 2013, seusai banjir melanda bantaran Ciliwung, ia melihat banyak sampah berserakan. Ide pun muncul di kepala Iskandar. Ia ingin membuat wayang uwuh atau wayang yang berbahan baku sampah.

Dalam pikiran Iskandar, ada dua sisi positif dari berkarya menggunakan bahan limbah, yakni mendaur ulang sampah plastik sekaligus melestarikan budaya.

Sebagai seorang pecinta alam, Iskandar selalu berusaha melestarikan dan membela alam. Sehingga apa pun yang dilakukannya selalu mempertimbangkan kelestarian alam.

“Otomatis apa pun yang saya lakukan saya tetap membela alam. Supaya bumi tetap lestari, tidak dikotori oleh limbah, karena bagaimana pun bumi itu paling bijaksana,” kata dia.

Baca Juga: Aktivis Lingkungan Edukasi Bank Sampah pada Anak Usia Dini

“Ini digambarkan di wayang, warna bumi itu hitam, makanya ada tokoh yang wajahnya warna hitam, supaya bijaksana seperti bumi. Bumi itu diinjak-injak, dicangkul, tapi kalau ditanami, hasilnya bisa untuk manusia.”

Iskandar juga mengaku cukup prihatin dengan generasi muda yang mulai jauh dan meninggalkan wayang. Sebab, cerita dan tokoh dalam pewayangan menggambarkan budi pekerti.

Menurutnya, banyak simbol-simbol yang mengajarkan kebaikan dalam tokoh pewayangan, yang bisa ditiru dan diteladani.

Ia juga memilih wayang sebagai karya karena dirinya menargetkan wayang berbahan limbah bisa lebih dikenal di luar negeri.

Iskandar Harjodimulyo, seorang seniman, sedang menyelesaikan pembuatan wayang uwuh berbahan sampah plaastik di rumahnya di Demangan, Yogyakarta, Jumat (27/1/2023). (Sumber: Kompas TV/Kurniawan Eka Mulyana)

“Saya targetnya kan dikenal secara internasional adalah mengangkat wayang di dunia internasional, mereka itu sangat respect dengan karya yang dibuat dari limbah.”

Saat ini, wayang buatan Iskandar sudah dipamerkan dan dijual di Bangkok, Thailand, secara tetap.

“Alhamdulillah di Bangkok ada yang jual di sana, dipamerkan sambil dijual secara tetap. Itu dampak dari tahun 2017 saya diundang ke Bangkok untuk pameran lukis kaca dan wayang uwuh,” urainya.

Tokoh wayang yang pertama kali dibuatnya adalah Gareng. Ia memanfaatkan botol bekas kemasan air mineral sebagai media untuk berkarya.

“Gareng itu menunjukkan orang yang setiti (teliti), ngati-ati (berhati-hati), dan jujur. Dia nggak mau mengambil barangnya orang lain. Saya tertarik pada sifat Gareng,” kata Iskandar menjelaskan alasannya memilih tokoh Gareng.

Ia juga membuat wayang uwuh tokoh lainnya, seperti Pandawa, tokoh dalam babad Ramayana, dan Dasa Muka.

Baca Juga: Olah Sampah Organik Jadi Produk Sabun

Iskandar mengaku dirinya bahkan pernah mencoba memproduksi wayang Sasak dan wayang Bali menggunakan bahan limbah plastik.

Dia juga menciptakan tokoh wayang sendiri, sesuai dengan imajinasi yang muncul dalam benaknya.

Wayang-wayang buatannya pun mulai bernilai ekonomis. Ia menjualnya dengan harga mulai Rp25 ribu, tergantung dari kerumitan gambar serta proses pembuatan.

Iskandar menggunakan cat akrilik berwarna ngejreng untuk wayang-wayang buatannya. Ide pemilihan warna ngejreng itu diperolehnya seusai memberi materi dalam workshop tentang wayang uwuh dan lukis kaca di Bangkok pada tahun 2017 lalu.

“Wayang saya ini rata-rata warnanya ngejreng, itu karena dari proses saya memberi workshop di luar negeri (Bangkok), pesertanya dari Eropa, Amerika, dan lain-lain.”

“Untuk pewarnaan dalam workshop itu saya bebaskan, tapi saya jelaskan untuk muka warnanya kalau bisa jangan diubah,” tuturnya.

Menurutnya, peserta workshop tersebut memiliki selera warna yang berbeda-beda, dan biasanya selera warna itu terbawa dari negaranya masing-masing.

Warna wajah tokoh wayang, lanjut Iskandar, sebisa mungkin jangan diubah. Sebab itu menyesuaikan karakter dan kondisi si tokoh.

Iskandar memilih plastik yang tidak terlalu tipis tapi juga tidak terlalu tebal sebagai bahan pembuatan wayang. Sebab, jika terlalu tebal, akan menyulitkan proses pengerjaan.

Waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan wayang cukup beragam, tergantung pada kerumitan motif serta besar kecilnya wayang.

“Ada yang sampai beberapa bulan, itu yang sunggingan atau polanya kecil-kecil dan rumit. Tergantung pada ide dan mood juga.”

Menyulap Limbah Plastik Jadi Bahan Bakar

Berbeda dengan Iskandar, seorang pria paruh baya lain di kawasan Kelurahan Jogotirto, Kabupaten Berbah, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kusnadi Priyono, mengolah limbah plastik menjadi bahan bakar minyak (BBM).

Saat ditemui di rumahnya, Rabu (25/1/2023) petang, Kusnadi menunjukkan proses pengolahan sampah plastik menjadi BBM.

Beberapa karung putih berisi sampah plastik tergeletak di halaman samping kiri rumah Kusnadi. Sekitar dua meter dari tumpukan karung berisi sampah tersebut, berdiri satu mesin pengolah limbah berkapasitas 5 kilogram.

Baca Juga: Warga Keluhkan Tumpukan Sampah di Permukiman

Mesin itu berbentuk seperti dua tong yang berdampingan, sebelah kiri berwarna perak dan satu lainnya berwarna hijau.

Tong berwarna perak merupakan wadah pembakaran sampah plastik yang akan diolah menjadi bahan bakar, sementara tong hijau merupakan semacam alat penyulingnya.

Ia mengambil satu tabung gas elpiji berukuran 3 kilogram, kemudian memasang selang yang terhubung ke tong berwarna hijau.

Kusnadi Priyono, seorang warga Jogotirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, menunjukkan proses pengolahan sampah plastik menjadi bahan bakar minyak, Rabu (25/1/2023). (Sumber: Kompas TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Kusnadi menjelaskan, proses pembakaran sampah tersebut memakan waktu hingga satu jam, dengan suhu mencapai 400 derajat Celsius.

Pengolahan sampah plastik menjadi bahan bakar telah dilakukan Kusnadi sejak tahun 2013 lalu. Awalnya, ia menggunakan mesin berkapasitas 3 kilogram.

Pada tahun 2015, ia dan rekannya mencoba membuat mesin pembakaran berkapasitas 5 kilogram agar memuat lebih banyak sampah.

“Ini masih terus berjalan (pengolahan sampah plastik jadi BBM), karena sampahnya masih terus ada.”

“Prosesnya dengan pemanasan sekitar 40 derajat, dari lima kilogram itu hasilnya antara satu sampai dua liter BBM. Pemanasannya sekitar satu jam, pakai gas elpiji,” kata Kusnadi.

BBM yang dihasilkan dari proses pemanasan limbah plastik tersebut, menurut Kusnadi, memiliki kadar oktan yang sedikit lebih rendah daripada BBM jenis Premium.

Meski demikian, BBM dari sampah plastik tersebut sudah berhasil diuji coba pada sepeda motor dua tak dan mesin pemotong rumput.

“Itu sejenis premium tapi oktannya agak rendah, di bawahnya premium. Kalau mau dipakai untuk motor harus ditambahkan zat peningkat oktan dan pelumas.”

Penggunaan pada sepeda motor, lanjut Kusnadi, juga harus menambahkan sedikit pelumas atau oli, agar tidak terlalu panas.

Pengolahan limbah plastik menjadi BBM tersebut memang tidak bertujuan untuk dijual, melainkan demi mengurai sampah plastik, terutama plastik yang tidak laku dijual, seperti plastik multilayer yang mengandung alumunium foil.

Baca Juga: Pantai Kuta Dipenuhi Sampah

Selain itu, biaya produksi pengolahan sampah plastik menjadi BBM tersebut juga cukup tinggi, sehingga jika dijual, belum bisa menutup biaya produksi yang dikeluarkan.

“Untuk sekitar 5 kilogram sampah butuh satu tabung gas elpiji ukuran 3 kilogram, jadi kalau untuk dua liter, masih tombok. Jadi belum nutup (kalau dijual).”

“Memang tujuannya bukan untuk produksi atau dijual, tujuan utamanya untuk mengurangi sampah plastik, terutama yang multilayer, karena tidak bisa dijual, jadi dibuang,” tegasnya.

Dalam proses pengolahan tersebut, plastik multilayer tidak seluruhnya habis terbakar. Tetapi menghasilkan sisa pembakaran berupa arang dan alumunium foil.

Arang sisa pembakaran sampah plastik itu bisa digunakan kembali sebagai campuran aspal, sementara alumunium foilnya dapat dijual kiloan.

Saat ini, selain mengolah sendiri limbah plastik, Kelompok Pengolahan Sampah Mandiri Rejosari, yang didirikan Kusnadi pada tahun 2012, juga menerima pesanan alat pengolah sampah.

“Biaya produksi alat yang kapasitas 5 kilogram sekitar Rp15 jutaan. Itu dipesan dulu, nggak ada yang jual langsung karena kita tidak produksi massal,” tuturnya.

Kusnadi Priyono, seorang warga Jogotirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, menunjukkan hasil pengolahan sampah plastik menjadi bahan bakar minyak, Rabu (25/1/2023). (Sumber: Kompas TV/Kurniawan Eka Mulyana)

Batako dari Limbah Plastik

Pengolahan sampah plastik yang tidak laku dijual juga dilakukan seorang perempuan bernama Isna Mansuuroh, warga Banyunganti Kidul, Kaliagung, Kapanewon (Kecamatan) Sentolo, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Saat ditemui di rumahnya, Jumat (30/12/2022), perempuan yang berprofesi sebagai guru di SMKN 1 Pengasih, Kabupaten Kulon Progo ini menjelaskan proses daur ulang sampah plastik.

Isna yang juga merupakan pendiri Bank Sampah Bunda Mandiri ini mendaur ulang sampah plastik menjadi batako.

“Saya mulainya (bank sampah) sejak tahun 2009,” kata Isna membuka percakapan.

“Di sini saya selalu menekankan pada warga, paling tidak harus bisa mengatasi masalah (sampah) kita sendiri,” lanjutnya.

Dalam pelaksanaan pengolahan sampah anorganik, Isna menyarankan warga untuk memilah dan memilih sampah sebelum membuangnya.

Sampah-sampah anorganik yang telah dikumpulkan, kemudian disetor ke bank sampah. Sementara sampah organik, dikelola sendiri oleh warga, baik menjadi pupuk maupun pakan ternak.

Baca Juga: Warga Kelurahan Kadolokatapi Kota Baubau Daur Ulang Sampah Plastik Jadi Cuan

“Kalau dipilah, kan pilahan yang laku jual bisa langsung dijual, kalau langsung buang kan kita malah mikir mau diapakan. Kalau dibakar kan menambah pekerjaan membakar sampah.”

Meski sudah melalui penyortiran secara mandiri oleh warga, tidak seluruh sampah anorganik yang terkumpul di bank sampah bisa langsung dijual.

Sebagian sampah tersebut harus diolah terlebih dahulu, misalnya menjadi kerajinan, seperti vas bunga, tikar, dan beberapa jenis kerajinan lain.

Namun, terkadang masih ada juga sampah yang tersisa. Isna menyebutnya sebagai residu, seperti pecahan kaca, styrofoam, kaca multilayer, dan beberapa jenis sampah lain.

Beberapa waktu kemudian, Isna menemukan solusi untuk mengelola residu tersebut, yakni menjadikannya sebagai bahan campuran bahan bangunan, seperti batako, konblok, dan campuran untuk pengerasan jalan beton.

Saat ini, konblok dan batako yang diproduksi ada dua macam, yakni menggunakan campuran semen dan pasir plus residu, dan batako berbahan campuran pasir dan plastik tanpa semen.

Batako yang berbahan pasir dan plastik tanpa semen, diproduksi dengan cara memanaskan campuran pasir dan plastik, seperti proses pemanasan aspal.

“Setelah plastiknya meleleh, kita aduk sampai rata, lalu dituangkan ke cetakan,” Isna menjelaskan.

Namun untuk memproduksi batako tanpa semen, tidak bisa menggunakan plastik multilayer yang mengandung timah, tetapi harus plastik murni.

Plastik multilayer, styrofoam, serta pecahan kaca, kata dia, hanya bisa digunakan sebagai campuran semen dan pasir pada pembuatan batako, atau pengerasan jalan.

Caranya, bahan-bahan residu tersebut dijadikan serpihan terlebih dahulu, kemudian dicampurkan ke dalam adonan semen dan pasir.

Isna kemudian menyodorkan satu batako berbahan pasir dan plastik yang dilelehkan. Warnanya hitam, berbeda dengan batako biasa yang cenderung abu-abu.

Aroma dari batako berbahan lelehan plastik tersebut sangat khas bau bekas plastik terbakar.

Meski demikian, kekuatan serta fungsi dari batako campuran lelehan plastik dan pasir itu sama dengan batako campuran residu dan semen.

Batako hasil cetakan mereka sudah digunakan oleh beberapa warga untuk membangun bangunan, termasuk campuran adonan pengerasan jalan beton.

“Saya lebih menekankan untuk diri sendiri dulu, yang mau membuat siapa, silakan buat untuk diri sendiri.”

Isna juga menjelaskan, pihaknya belum berniat untuk memproduksi batako campuran residu secara massal karena ia tidak bisa memenuhi pesanan konsumen.

 “Dijual itu kan kalau sudah produksinya berlebih untuk mencukupi kebutuhan sendiri,” tegasnya.

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU