> >

Geger Keraton Solo, Gusti Moeng: Semua Ini Dipicu dari Kesepakatan yang Dilanggar

Update | 26 Desember 2022, 12:03 WIB
Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng menerangkan peristiwa geger Keraton Solo di Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Senin (26/12/2022). (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)

SURAKARTA, KOMPAS.TV - Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Surakarta GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng mengungkapkan bahwa geger Keraton Solo yang terjadi pada Jumat (23/12/2022) lalu dipicu dari pelanggaran kesepakatan.

"Sebenarnya semua ini dipicu dari kesepakatan yang dilanggar," kata Gusti Moeng di Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Senin (26/12/2022).

Ia menerangkan, pihaknya bermaksud membuka pintu Keraton Solo agar seluruh masyarakat dan sentono dalem atau kerabat raja bisa melihat langsung situasi keraton yang sudah ditutup selama lima tahun. 

"Kami membuka pintu seluruhnya, supaya akses itu bisa dimasuki, atau semua masyarakat, terutama sentono dalem atau kerabat itu bisa melihat langsung situasi keraton yang sudah lima tahun ditutup, tanpa kita tahu sama sekali keadaannya," ucapnya.

Tindakan itu ia lakukan setelah terjadi peristiwa pencurian di dalam Keraton Solo yang dilaporkan oleh putri Pakubuwono XIII (PB XIII), GRAY Devi Lelyana Dewi, pada Rabu (21/12/2022).

"Setelah kami masuk, masalah pembantu yang dicekik maling, ternyata keadaannya sudah parah sekali bangunan-bangunan. Tapi waktu itu, terus ada penjagaan dari pihaknya Sinuwun (PB XIII) dan pihak kami (LDA)," kata Gusti Moeng.

Baca Juga: Gusti Moeng Ungkap Polisi Terlibat Geger Keraton Solo: Sering Jalankan yang Bukan Tupoksi

Setelah peristiwa pencurian itu, kata dia, hubungannya dengan PB XIII sebetulnya baik-baik saja, hingga pada Jumat (23/12) malam terjadi peristiwa yang menyebabkan sejumlah orang terluka. 

"Tapi pada kenyataannya, pada dua hari yang lalu, saya kebetulan jaga dari pagi sampai maghrib, saya pulang maghriban, terus saya ditelepon sama Gusti Timur, bahwa terjadi pengusiran dan penggembokan lagi pintu-pintu itu, bahkan Yudhis sama Suryo (cucu PB XIII) itu digebukin, dan Mas Suryo itu sempat ditodong senjata oleh aparat," ujarnya.

Ia mengatakan, aparat yang telah berjaga di Keraton Solo selama lebih dari lima tahun itu beralasan menjalankan perintah PB XIII.

"Padahal saya tahu sinuwun posisinya sakit, enggak bisa bicara, enggak bisa jalan, dan saya malah yakin peristiwa ini nggak tahu, pasti ditutup," ujarnya.

Gusti Moeng menjabarkan, dirinya selaku ketua LDA tidak ingin mengganggu PB XIII yang kini bertakhta sebagai raja. Secara adat, kata dia, yang menjadikan raja itu sesuai peraturan adat adalah LDA.

"Beliau adalah anak laki-laki tertua dari Pakubuwono XII. Tidak mungkin saya mau mengganggu dia, atau saya sebagai ketua Lembaga Dewan Adat mau menurunkan beliau, nggak mungkin, kalau begitu saya juga melanggar adat," ujarnya.

"Tapi yang paling utama yang saya jalankan adalah menjaga adat ini," kata dia.

Keadaan PB XIII yang saat ini sedang sakit, kata dia, dimanfaatkan oleh oknum-oknum dari luar Keraton Solo yang tidak mengetahui adat-istiadat Kasunanan Surakarta.

Baca Juga: Geger Keraton Solo, 6 Orang Dirawat di Rumah Sakit Bakal Lapor Polisi: Rata-rata Luka di Kepala

"Taunya katanya itu perintah Sinuwun (PB XIII). Loh Sinuwun itu kan sebagai ketua kami, jangan begitu dong, ini juga sebagai sedulur tua kami, harusnya kan melindungi semua," kata Gusti Moeng.

Ia mengatakan, PB XIII yang semestinya menjalankan roda adat Keraton Solo bagi seluruh warga, justru dipaska menjadi satu keluarga sendiri.

"Memang sebetulnya beliau ini sebagai 'toh' (simbol -red) bagi sentono semuanya, mengayuh sebagai seluruh warga Keraton Surakarta, tapi dipaksa Sinuwun (PB XIII) itu menjadi satu keluarga sendiri dengan istri dan anaknya, ini yang jadi rusak," ujarnya.

Gusti Moeng menilai, turunnya kesehatan PB XIII itu membuat sang istri merasa berhak menjalanan wewenang raja di Keraton Solo.

Baca Juga: Sejarah Konflik Keraton Solo: Sejak 2004, Pernah Damai saat Jokowi jadi Walikota

"Terus merasa si istri ini karena Sinuwun (PB XIII) sakit, dia yang menjalankan dan memerintah-memerintahkan yang sama sekali dia tidak tahu adat, tidak tahu aturan di keraton," tuturnya.

"Sehingga dia itu, dengan kondisi yang kemarin itu, sebetulnya mempertahankan kedudukannya, ini yang membikin kacau," ucapnya.

Ia pun mengaku tak tahan dengan sikap istri raja tersebut, sebab menurutnya sebagai sebuah lembaga adat, Keraton Solo merupakan sumber pembelajaran adat-istiadat Jawa kepada masyarakat.

"Lha saya sudah tidak tahan dengan melihat seperti ini, kami sendiri sebetulnya sebagai sebuah lembaga adat, Keraton ini banyak memberikan pembelajaran kepada masyarakat," ujarnya.

Ia mengatakan, pihaknya ingin konflik Keraton Solo segera selesai. Ia juga telah berupaya mengirim surat kepada pemerintah untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut.

Baca Juga: Ditanya Soal Geger Keraton Solo, Gibran Rakabuming Raka: Kami Siap Fasilitasi Mediasi

"Kami juga selalu menyampaikan kepada pihaknya Sinuwun (PB XIII) setiap ada pertemuan antara utusan Sinuwun dengan saya, sampaikan ke sinuwun, 'saya ingin menghadap', saya ingin menyelesaikan, dan ini bukan urusan saya sebagai adik dan Sinuwun sebagai kakak saya, bukan. Tapi ini adalah masalah lestarinya keraton ini dan itu tanggung jawab kami bersama," katanya.

Akan tetapi, komunikasi tersebut, kata Gusti Moeng, tidak pernah terbuka karena pihak PB XIII masih tertutup.

"Saya masih menunggu, pada hari terjadi gegeran lagi (Jumat), Pak Kapolres menyampaikan kalau berusaha mempertemukan saya dengan Sinuwun pada hari Senin ini sampai Selasa atau Rabu, makannya saya menunggu, semoga ini bisa terlaksana," ucapnya.

Baca Juga: Polisi dan Pemerintah Kota Undang Seluruh Pihak Keraton Solo untuk Mediasi Senin Esok

Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU