NU Desak Pemerintah Sahkan UU PPRT untuk Lindungi Profesi Pekerja Rumah Tangga
Muktamar nu | 28 Desember 2021, 16:36 WIB“82 persen dari mereka tidak masuk jaminan sosial Kesehatan dan ketenagakerjaan,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina, Jatiwaringin, Bekasi, Jawa Barat itu.
Maksud pentingnya RUU tersebut segera disahkan adalah adanya pemberian pengakuan terhadap PRT sehingga ada payung hukum yang melindungi mereka. “Kita ingin memberikan pengakuan terhadap Pekerja Rumah Tangga. Dengan pengakuan itu, dia punya payung hukum perlindungan,” katanya.
Adapun bentuk perlindungannya antara lain adalah kontrak kerja yang fleksibel. Artinya, untuk hal ini tidak perlu ada Upah Minimum Regional (UMR), tetapi berdasarkan kesepakatan dengan prinsip saling rela dan musyawarah.
“Yang penting kontrak kerja itu menjeklaskan hak dan kewajiban,” ujar nyai yang menempuh pendidikan pesantren di Pondok Pesantren Kajen, Pati, Jawa Tengah itu.
Baca Juga: Kamus Demokrasi di Muktamar ke-34 NU
Dalil dan dinamika forum Bahtsul Masail Qanuniyah di Muktamar NU
Melengkapi penjelasan Nyai Badriyah, Anggota Komisi Qanuniyah H Aniq Abdullah menjelaskan bahwa keputusan tersebut dilandasi oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan pandangan para ulama yang termaktub dalam kitab-kitab yang mu’tabar.
Dalam kitab Mughnil Muhtaj misalnya, dijelaskan bahwa menghadirkan pelayan merupakan kewajiban bagi suami. Namun, pelayan tersebut terkadang ada yang sukarela, ada pula yang dikontrak dengan upah tertentu (ijarah). Karenanya, pelayan di dalam rumah tangga ini tergolong kepada ajir, orang yang menerima upah.
Bahkan, Aniq menambahkan bahwa hubungan pelayan dan pemilik rumah harus dilandasi dengan asas kekeluargaan sebagaimana digarikan dalam suatu hadis. Menjelaskan makna hadis itu, Imam Ibnu Hajar menyebut bahwa hubungan pekerja dan pemberi kerja itu harus dilandasi dengan semangat persaudaraan.
Lebih dari itu, Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Zaki Mubarok menegaskan bahwa hubungan pelayan dan pemilik rumah bukan sekadar hubungan saudara, tetapi seperti keluarga sendiri. Hal ini dicontohkan langsung oleh Rasulullah saw melalui perilakunya.
Dalam draf, keputusan tersebut dilandasi Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 2 yang bermakna saling tolong-menolong. Menurut K Lukmanul Hakim dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur hal tersebut tidak tepat. Sebab, pelayan merupakan ajir.
Karenanya, ia mengatakan ayat yang lebih tepat adalah Al-Qur’an Surat At-Thalaq ayat 6.
“Maka, ayat yang lebih relevan menurut usulan kami bukan ayat tersebut. Kalau diarahkan ke ujroh kurang nyambung. Khidmah lebih relevan. Usluan kami At-Thalaq ayat 6,” katanya.
Penulis : Dedik Priyanto Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV