Fenomena Krismuha: Potret Toleransi dari Pinggiran Indonesia
Edukasi | 23 Mei 2023, 05:45 WIBJAKARTA.KOMPAS.TV - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menggelar bedah buku Kristen Muhammadiyah: Mengelola Pluralitas Agama dalam Pendidikan pada Senin (22/5/2023).
Ketua LKKS PP Muhammadiyah, Fajar Riza Ulhaq mengatakan, buku ini mendeskripsikan potret toleransi dari pinggiran Indonesia, terutama di daerah 3 T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal).
Ketiga daerah pinggiran Indonesia itu antara lain di Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT); Serui, Papua; dan Putussibau, Kalimantan Barat (Kalbar).
"Buku ini hasil penelitian dan memunculkan fenomena varian Kristen Muhammadiyah (Krismuha) yang disebabkan oleh interaksi intens antara anak-anak Muslim dengan Kristen dalam proses pembelajaran di sekolah Muhammadiyah, tanpa menghilangkan jati diri sebagai seorang Kristen yang taat," ujar Fajar, penulis buku itu kepada Kompas.tv.
Baca Juga: Ketum PP Muhammadiyah Ajak Elite Politik Jaga Persatuan Bangsa Jelang Pilpres 2024!
Fajar menulis buku tersebut bersama Guru Besar Ilmu Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Abdul Mu`ti.
Menurut Abdul Mu`ti yang juga Sekretaris Umum (Sekum) PP Muhammadiyah, semula buku ini sempat diterbitkan pada tahun 2009 tetapi tidak lengkap atau seadanya.
Kali ini, kata Mu`ti, buku yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas (Kompas Gramedia) ini telah mengalami penyempurnaan secara lengkap disertai perbaikan-perbaikannya.
"Terutama pada bagian bab dua dalam buku ini dijelaskan tentang akar pluralisme dalam pendidikan Muhammadiyah di tingkat akar rumput," kata Mu`ti saat memberikan pengantar diskusi bedah buku itu di Kemendikbudristek, Jalan Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta, Senin.
Buku tersebut merupakan penyempurnaan dari disertasi Abdul Mu`ti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam prolog buku itu dijelaskan, terbitnya buku Krismuha ini menggugah kesadaran kolektif bahwa kemajemukan agama, suku, ras, dan golongan tidak menghalangi diri untuk berbuat yang terbaik bagi kehidupan bersama di mana pun berada.
“Kemajemukan adalah Pelangi yang indah untuk merajut hidup toleran sarat penghormatan, perdamaian, dan saling memajukan,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir yang memberikan prolog pada buku tersebut.
Buku ini memberikan penjelasan sosiologis bagaimana institusi pendidikan Muhammadiyah konsisten membangun kohabitasi masyarakat yang majemuk tanpa kehilangan identitas masing-masing.
Membangun konvergensi kewargaan di bidang pendidikan merupakan kunci untuk mentransformasikan perbedaan dan harmoni sosial menjadi kekuatan kolektif dan kemajuan.
Kohesivitas sosial bangsa yang telah teruji di masa pandemi tumbuh kuat dari proses panjang, termasuk proses konvergensi dan ko-eksistensi generasi muda di dunia pendidikan tersebut.
Baca Juga: Kasus Ancaman ke Muhammadiyah, Kabag Penum Polri Sebut Thomas Djamaluddin Sudah Diperiksa 8 Mei 2023
Fajar menambahkan, pada pendidikan Muhammadiyah, hal tersebut melahirkan konvergensi Muslim dan Kristen.
"Inilah kontribusi Muhammadiyah dalam membangun masa depan Indonesia yang lebih toleran, inklusif dan pluralistik," ujar Fajar.
Pembicara kunci dalam diskusi bedah buku ini tak lain adalah Mendikbudristek Republik Indonesia, Nadiem Anwar Makarim.
Pembahas lainnya ada Dr. Rustamadji, M.Si (Rektor UNIMUDA Sorong Papua), Prof. Dr. Siti Ruhani Dzuhayatin, M.A. (Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI), dan Anindito Aditomo, Ph.D. (Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek).
Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim memberikan apresiasi adanya buku dari hasil penelitian tersebut.
Nadiem mengatakan, karya ilmiah ini sebagai bentuk keterlibatan publik dalam mewujudkan lingkungan pendidikan yang mencintai keberagaman, inklusif, dan bebas dari kekerasan.
“Gagasan toleransi yang dihadirkan dalam buku ini sejalan dengan cita-cita kami di Kemendikbudristek untuk menghapus kekerasan dari dunia pendidikan Indonesia," kata Nadiem.
"Sejak tiga tahun lalu, kami telah menjadikan intoleransi sebagai salah satu bentuk kekerasan yang wajib dicegah dan ditangani, di samping perundungan dan kekerasan seksual,” tuturnya.
Menurut Nadiem, kemerdekaan dalam belajar hanya akan terwujud jika sekolah dan kampus menjadi ruang aman yang mampu melindungi semua warganya, terlepas dari latar belakang identitas agama, suku, atau status sosial.
Oleh karena itu, lanjut Nadiem, Kemendikbudristek terus memprioritaskan gerakan pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan melalui berbagai inisiatif.
Salah satunya yang menjadi momentum bersejarah dalam dunia pendidikan Indonesia adalah lahirnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
“Sebagai tindak lanjut dari terbitnya aturan tersebut, sekarang 100% perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia sudah memiliki satuan tugas. Satgas tersebut bertanggung jawab memberikan edukasi kepada warga kampus sebagai upaya pencegahan kekerasan, serta melakukan pemeriksaan atas laporan kekerasan sebagai bentuk penanganan,” ungkapnya.
Baca Juga: Apa Upaya Kemendikbud Turunkan Angka Pengangguran Lulusan SMK? | BTALK
Mendikbudristek mengatakan, hadirnya buku ini tentu akan semakin mendukung pencegahan dan penanganan intoleransi di satuan pendidikan.
“Terwujudnya satuan pendidikan yang inklusif dan toleran adalah kunci untuk menguatkan kebinekaan Indonesia, bibit untuk melahirkan pelajar Pancasila yang cerdas berkarakter. Mari terus bergotong royong menciptakan pendidikan Indonesia yang toleran dan inklusif, bergerak serentak mewujudkan Merdeka Belajar,” kata Nadiem, memberi pesan.
Penulis : Deni Muliya Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV