> >

Terbongkar! Alasan Kenapa Foto Air Mata Susi Susanti Tak Jadi Headline Harian Kompas 5 Agustus 1992

Kompas sport | 5 Agustus 2021, 21:34 WIB
Susi Susanti saat meraih medali emas di Olimpiade Barcelona 1992. (Sumber: Intisari via bolasport.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Susi Susanti merupakan atlet pertama Indonesia yang mampu menyumbangkan medali emas di Olimpiade.

Namun foto air mata Susi Susanti di Olimpiade 1992, tak jadi foto headline di Harian Kompas yang terbit pada 5 Agustus 1992.

Apakah alasannya?

Sejak tahun 1952 Indonesia belum pernah sekalipun mendapatkan medali emas, prestasi terbaik hanya medali perak yang diraih pada Olimpiade Seoul 1988.

Akan tetapi, 1992 menjadi tahun yang berbeda karena untuk pertama kalinya bulu tangkis menjadi salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan di Olimpiade.

Apalagi, kondisi atlet bulu tangkis indonesia saat itu sedang prima-primanya dengan beberapa pemain andalan seperti Alan Budikusuma, Ardy Wiranata, Kusumawardhani dan Susy Susanti.

Indonesia lantas menaruh harapan sangat besar pada cabang olahraga bulu tangkis ini.

Bahkan Presiden Soeharto menitipkan pesan langsung kepada Try Sutrisno selaku Ketua Umum PBSI saat itu, untuk membawa pulang satu medali emas.

Padahal, di tahun-tahun sebelumnya pemerintah tak pernah melakukan hal serupa.

Baca Juga: Susi Susanti Ungkap Alasan Kegagalan Timnas Junior

Hari bersejarah itu pun tiba. Selasa, 4 Agustus 1992, Susi Susanti berhasil mengalahkan musuh bebuyutannya Bang Soo-Hyun dari Korea Selatan.

Meskipun sempat kalah pada set pertama, Susi dapat bangkit di set-set berikutnya dan menjadi peraih medali emas Olimpiade pertama untuk Indonesia.

Redaksi Kompas kala itu memang telah merencanakan untuk menjadikan foto Susi sebagai headline Harian Kompas, karena redaksi cukup yakin Susi akan membawa emas pertama bagi Indonesia.

Oleh sebab itu, Harian Kompas mengutus salah satu fotografer andalannya Kartono Riyadi.

Ia diutus untuk mendapatkan foto headline yang akan menjadi torehan baru sejarah Indonesia.

Kartono pun berhasil mendapatkan beberapa jepretan Susi saat pengalungan medali emas dan saat lagu Indonesia Raya berkumandang.

Ia kemudian harus segera mengirimkan foto tersebut ke Jakarta. Karena saat itu internet dan teknologi belum secanggih sekarang, pengiriman foto dilakukan menggunakan mesin faksimili.

Namun, setiap proses pengiriman foto memang tidak selalu berjalan sempurna.

Dalam dua sampai tiga kali pengiriman, air mata Susi Susanti yang menjadi highlight dari foto tersebut tidak terlihat.

Saking pentingnya foto tersebut, Kartono bahkan sampai mencoba untuk menggunakan tipeks untuk menciptakan ilusi air mata.

Baca Juga: Susi Susanti Bawa Obor Asian Games 2018 ke Bromo

Kartono memang sangat menekankan betapa pentingnya air mata tersebut.

Akan tetapi, kengototan Kartono tersebut tidak begitu berdampak. Karena ketika penentuan foto headline Harian Kompas, pewarta foto tidak diikutsertakan.

Hal ini bertujuan untuk menghindari subjektifitas yang dibawa oleh si fotografer ke dalam fotonya.

Arbain Rambey selaku fotografer senior Harian Kompas menjelaskan bahwa ketika dalam diskusi penentuan foto headline, ia menerangkan bahwa foto Susi yang menangis malah menunjukkan kesedihan dan bukan kegembiraan akan emas pertama Indonesia.

"Pemikirannya adalah Susi dapat emas, kita gembira," kata Arbain.

“Kalau dipasang foto Susi yang menangis, itu gak kena pas orang liat. Yang merasakan foto Susi menangis itu bagus kan hanya fotografernya karena dia merasakan suasananya,” jelas Arbain.

Baca Juga: Penampilan Gregoria Mariska Dipuji Susi Susanti

Headline Harian Kompas 5 Agustus 1992. (Sumber: Harian Kompas)

Pada akhirnya Indrawan Sasongko selaku redaktur malam Harian Kompas saat itu memutuskan untuk tidak menaikkan foto Susi menangis.

Ia kemudian lebih memilih foto Susi Susanti yang membawa kembang serta menunjukkan kemegahan emas pertama indonesia.

"Sementara bagi orang yang tidak di tempat, lebih berbicara foto Susi yang membawa kembang. Karena momennya adalah kita mendapat emas pertama Olimpiade, kita gembira dan kita bangga," tambah Arbain.

"Jadi foto Susi membawa kembang dengan tertawa itu lebih kuat secara jurnalistik untuk menghiasi halaman pertama Harian Kompas waktu itu."

Hal yang sangat menarik dari foto adalah ia sangat kontekstual. Dampak dari suatu foto akan selalu berbeda dari waktu ke waktu.

Sekarang, mungkin foto Susi yang membawa kembang tidak memiliki dampak sebesar dulu.

Foto Susi Susanti menangis yang dulu ditolak untuk menjadi headline kini bisa dibilang lebih ikonik dibandingkan foto yang membawa kembang.

Buktinya, teaser untuk film biopik Susi Susanti yang tayang dua tahun lalu memilih untuk menampilkan momen ketika Susi menangis.

Jika mengingat peristiwa-peristiwa yang menimpa Susi Susanti setelah ia mendapatkan emas pertama untuk Indonesia di Olimpiade, rasanya semakin memperkaya makna air mata Susi kala itu.

Baca Juga: Sejarah Hari Ini 4 Agustus, Medali Emas Susi Susanti di antara Tangis dan Diskriminasi Orba

Penulis : Rizky L Pratama Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU