Stop Rasisme, Rawat Keberagaman dengan Pemberdayaan SDM Papua
Berita kompas tv | 17 Juni 2020, 19:07 WIBKOMPAS.TV - Peristiwa rasisme ataupun diskriminasi menjadi evaluasi penting bagi negara dalam merespons dan menangani persoalan Papua. Termasuk dalam menampung aspirasi serta tuntutan mahasiswa Papua di mana pun mereka berada.
Tindakan-tindakan yang terjadi Agustus 2019 lalu di sejumlah kota seperti di Surabaya, Malang, Semarang, Manokwari, dan Sorong, harus dihentikan dan diproses secara hukum untuk memastikan ketidakberulangan.
Begitu juga adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia, persamaan di depan hukum, kesetaraan dan keadilan bagi mahasiswa serta rakyat Papua.
Baca Juga: #PapuanLivesMatter Sempat Mencuat, Sejumlah Tokoh Papua Bersuara
Wakil Bupati Asmat Thomas Eppe Safanpo mengungkapkan, rasisme muncul karena ada sikap superioritas dari kelompok tertentu terhadap kelompok yang lain berdasarkan perbedaan warna kulit, etnis, agama, maupun lainnya.
Oleh karena itu, dia menolak segala bentuk rasisme terhadap orang maupun kelompok tertentu.
"Indonesia ini kan bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika yang berati bersatu di dalam keberagaman. Rasisme memang ada, tetapi cara menyikapi penolakan terhadap rasisme tidak harus dengan kerusuhan, poinnya itu di situ," katanya saat diskusi webinar bertajuk Papua Dalam Keberagaman Indonesia yang digelar KOMPAS TV, Senin (15/6/2020).
Menurut dia, yang terpenting juga adalah aparat penegak hukum harus berindak tegas mengusut pelaku rasis.
"Jadi memang perlu ada tindakan penegakan hukum untuk mencegah perilaku rasisme agar tidak muncul di kemudian hari," sambungnya.
Baca Juga: KPAI Sebut 680 Ribu Siswa di Papua Tidak Akses Internet
Persoalan Pendidikan
Bukan hanya itu, Thomas juga menyoroti persoalan pendidikan yang terjadi di tanah cenderawasih tersebut.
Sebab, pendidikan sering kali menjadi pemicu timbulnya rasisme maupun diskriminasi terhadap orang Papua.
Menurut dia, persoalan pendidikan di Papua itu bukan karena di Papua kekurangan perguruan tinggi. Namun persoalan pendidikan yang paling utama di Papua itu adalah terkait dengan pendidikan dasar dan menengah.
Sebab, lanjutnya, masih banyak anak-anak di Papua yang lulus SD, SMP, SMA, lalu jadi mahasiswa, namun ternyata tata bahasanya kacau balau. Bahkan sebagian tidak bisa membaca hanya bisa mengeja.
"Beberapa kepala SMP di daerah saya mengeluh, ada anak-anak SD yang masuk SMP tidak bisa membaca. Jadi yang harus dibenahi pendidikan dasar dan menengahnya. Itu paling utama," katanya.
"Kalau dasarnya dibenahi dengan baik, maka pendidikan ke atas pun akan berprestasi," sambungnya.
Thomas memaparkan bahwa kurangnya tenaga guru yang memadai menjadi salah satu penyebabnya. Pelimpahan tenaga guru sedikit dan akhirnya pemerintah daerah merekrut tenaga-tenaga honorer yang rata-rata hanya berpendidikan SLTA.
"Dari sisi kemampuan pedagogi ya tidak memadai. Memang pada akhirnya ada penyesuaian, namun yang terjadi kesannya hanya formalitas saja, kemampuan kompetensinya tidak meningkat. Akibatnya proses belajar yang diharapkan untuk meningkatkan kemampuan kualitas manuia itu pun tidak memadai," jelasnya.
Baca Juga: Aksi Unjuk Rasa Tuntut Pembebasan 7 Orang Aktivis Papua
Memberdayakan Orang Papua
Pada kesempatan yang sama, Bupati Biak Numfor Herry Ario Naap menuturkan, masalah Papua itu menyangkut keseriusan memberdayakan orang Papua.
"Ketika ada keseriusan untuk memberdayakan orang Papua dalam pemerataan pembangunan, maka pastinya perasaan diskriminasi, baik lewat arah kebijakan maupun sikap dan tindakan itu tidak akan dialami," tuturnya.
Menurut dia, diskriminasi terjadi karena pendidikan di Papua kekurangan tenaga guru.
Dia berharap adanya kebijakan pemerintah pusat untuk mengirim sebanyak mungkin guru-guru terlatih agar bisa mengajar di kabupaten maupun kota di Papua. Termasuk untuk memberdayakan sumber daya manusia (SDM) di Papua.
"Jangan sampai sudah jadi mahasiswa kok tidak bisa membaca, kan lucu. Akhirnya diketawain. Kan, secara nggak langsung sistem yang akan menciptakan diskriminasi yang akan terjadi," paparnya.
Dia meyakini bahwa pembenahan pendidikan dasar dan menegah di Papua akan bisa menjadikan orang Papua berprestasi dan tidak ada lagi rasisme maupun diskriminasi.
"Dengan demikian, lima sampai 10 tahun mendatang akan bisa menekan angka atau sikap diskriminasi yang terjadi dan akan berjalan dengan baik," pungkasnya.
Diketahui dalam diskusi tersebut hadir pula pembicara lain, yakni Ketua Kelompok Kerja Agama Majelis Rakyat Papua Yoel Mulait, Ketua Panitia Musyawarah MRP & Mantan Ketua KPU Papua Benny Sueni, Ketua PMKRI Papua Wakol Yelipele, serta Mahasiswa Papua di Yogyakarta Ayub Antoh.
Baca Juga: Universitas Indonesia Nilai Narasumber Diskusi Tentang Rasisme di Papua Tak Berimbang
Penulis : fadhilah
Sumber : Kompas TV