> >

Tanggapi Diskusi Pemecatan Presiden, Mahfud MD Ungkap 5 Alasan Kepala Negara Bisa Diberhentikan

Berita kompas tv | 30 Mei 2020, 23:56 WIB
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD sebelum pelantikan menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara, Jakarta, Rabu 23 Oktober 2019 (Sumber: KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

JAKARTA, KOMPAS TV - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, menanggapi soal pembatalan diskusi bertajuk tentang ‘Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan’.

Seperti diketahui, Constitutional Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) sebelumnya berencana menggelar diskusi tersebut pada Jumat (29/5/2020) pukul 14.00 WIB secara online.

Namun, acara diskusi tersebut batal terlaksana meskipun pihak panitia telah mengganti judul diskusi menjadi ‘Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan’.

Baca Juga: Diskusi Tentang Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Batal, Mahfud MD: Ini Bukan Ulah Pemerintah

Terkait pemecatan atau pemberhentian presiden, bekas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menerangkan terkait hal tersebut sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar atau UUD 1945 dengan lima alasan.

Adapun alasan yang bisa membuat seorang presiden dipecat atau diberhentikan karena terbukti melakukan pelanggaran hokum.

Itu berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.

"Di luar itu, presiden membuat kebijakan apa pun tidak bisa diberhentikan. Apalagi hanya membuat kebijakan Covid-19, itu enggak ada," kata Mahfud MD dalam video telekonferensi pada Sabtu (30/5)

Lebih lanjut, Mahfud menyoroti isu yang berkembang di media sosial terkait diskusi tersebut yang sempat dibilang sebagai gerakan makar. Menurutnya, anggapan tersebut tidak benar menurut hukum. Dia pun sudah bolak-balik mengkajinya.

Baca Juga: Staf Kepresidenan Bicara Soal Diskusi "Pemecatan Presiden" dan Teror Dosen

“Sangat disayangkan juga kemarin muncul di Yogyakarta, UGM mau ada seminar tapi kemudian tiba-tiba tidak jadi karena ada isu makar. Padahal, enggak juga sih kalau saya baca," kata Mahfud.

Mahfud mengatakan, diskusi tersebut menghadirkan Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Ni'matul Huda, sebagai narasumber atau pembicaramengenai ahli hokum tata negara. 

Selama mengenal Ni'matul, Mahfud menilai dia merupakan orang yang biasa-biasa saja. Ni’matul, kata dia, orangnya tidak suka aneh-aneh.

"Kebetulan calon pembicara di UGM itu dulu saya promotornya ketika doktor, kemudian jadi asisten. Bu Ni'matul Huda itu orangnya enggak aneh-aneh," ujar Mahfud.

Mahfud menegaskan, pembatalan acara diskusi tersebut bukan karena ulah pemerintah. Hal ini perlu ditegaskan. 

Baca Juga: Diskusi Bertema "Pemecatan Presiden" Picu Polemik, Dosen UII Yogyakarta Diteror

“Ini penting sebagai informasi, seakan-akan (diskusi) tidak jadi itu tindakan dari pemerintah. Saya cek ke polisi, enggak ada polisi melarang,” kata Mahfud.

“Saya cek ke rektor, saya telepon rektor UGM, pembantu rektor, apa itu dilarang saya bilang. Enggak usah dilarang dong.”

Pihak UGM, kata Mahfud, lalu menyatakan tak pernah melarangnya. Adapun pelarangan yang terjadi justru dilakukan sesama masyarakat sipil sendiri. 

Sementara soal teror yang diterima panitia pelaksana dan narasumber diskusi, Mahfud berjanji akan mengusut tuntas jika ada laporan yang masuk kepadanya.

"Siapa yang mendatangi meneror rumahnya Bu Ni'matul. Saya bilang laporkan, kalau ada orangnya. Laporkan ke saya, saya nanti menyelesaikan," kata Mahfud.

Baca Juga: Diskusi Tentang Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Batal Digelar, Panitia Sempat Diancam

Sebelumnya, Presiden Constitutional Law Society (CLS), Aditya Halimawan, menyayangkan ada pihak yang menganggap kegiatan yang dilakukannya disalahartikan sebagai gerakan makar. 

Aditya menegaskan, tema dan kegiatan yang dilakukan tidak berkaitan dengan aksi makar atau gerakan politis lainnya. Ia menyebut kegiatan yang dilakukannya murni bersifat akademis.

"Seperti klarifikasi yang sudah kami sampaikan, bahwa kami bersifat akademis. Tidak berkaitan oleh politik manapun atau agenda politik manapun," kata Aditya.

Penulis : Tito-Dirhantoro

Sumber : Kompas TV


TERBARU